Jadilah Lelaki Perkasa, Seperkasa Kuda Putih

Tuesday, November 30, 2010

Tukang Jamu

Langsung saja, aku Jimmy (28).
Di usia yang sudah hampir 30
ini, aku belum juga dapat kerja
yang benar, ya setidaknya itu
kata orangtuaku, padahal gelar
Sarjana Pertanian sudah ada di
genggamanku. Tapi, memang
susah cari kerjaan di kota
sebesar Surabaya. Akhirnya,
awal tahun lalu aku memutuskan
untuk merantau ke Kupang, NTT.
Kebetulan, kakakku Bram punya
kios sembako.
"Udahlah Jim.., dari pada kamu
nganggur, ke sini saja, bantu aku
kelola bisnis kecil ini," katanya
waktu menelponku.
Yah, maklumlah, Mas Bram itu
pegawai negeri dilingkup Diknas,
dan Mbak Is, istrinya juga guru
SD, yang selalu sibuk mengajar.
Jadi, aku pun mulai terbiasa
menjaga kios sembako itu.
Langgananku banyak, mulai dari
yang tua hingga anak-anak.
Soalnya, selain sembako, kini
kios itu juga berisi berbagai
keperluan sehari-hari. Pokoknya
lengkap deh. Kakakku pun
memujiku, soalnya sejak aku
yang mengurusi, kios itu jadi
maju, padahal aku baru 6 bulan
disitu.
Eh, cerita ini berawal saat aku
mulai merasakan kecapaian
mengurusi dagangan. Apalagi
kiosnya sudah diperbesar.
Sedangkan aku hanya dibantu
oleh Nurce, pembantu rumah
tangga kakakku, gadis 19 tahun
yang asli Kupang itu.
"Wah, aku pegel-pegel nih Nur..,
minum obat apa ya yang
bagus..?" tanyaku pada Nurce
suatu siang.
Nurce tidak langsung menjawab.
Dia masih sibuk menata
bungkusan Pepsodent ke dalam
rak pajangan.
"Ngg apa Kak.., Kakak pegel-
pegel..?" Nurce balik bertanya.
Memang anak itu selalu
memanggilku dengan sebutan
kakak, cukup sopan kok.
"Saya tau tukang jamu yang
bagus Kak, bisa dipanggil lagi.
Kalau mau, besok saya
panggilkan deh," jawabnya.
"Kok tukang jamu sih Nur..?
Memang mujarab..?" tanyaku.
"Betul Kak, bagus banget kok
khasiatnya, dan banyak yang
langganan. Popoknya Kakak lihat
aja besok."
Nurce kembali sibuk dengan
bungkusan Pepsodent yang
belum habis tertata.
Sehari pun berselang. Dan, betul
saja kata Nurce, pagi itu aku
kedatangan tamu. Namanya
Mbak Sri, umurnya sekitar 30-35
tahunlah. Pakai kebaya khas
tukang jamu gendong, ketat dan
menampakkan lekukan tubuh
yang masih sangat seksi dan
terlihat sintal.
"Selamat pagi Mass," Mbak Sri
sedikit mengagetkanku di depan
pintu kios.
"Oh.., pagi Mbak.., ada apa ya..?"
tanyaku sambil membenahi
karungan beras yang baru
kuatur.
"Ini pasti Mas Jimmy ya..? Ini lho,
saya Mbak Sri. Saya diminta
Nurce datang kesini, katanya Mas
Jimmy-nya pingin nyobain Jamu
pegelnya Mbak Sri," jawabnya.
"Ini ada jamu pegel dan jamu
kuatnya sekalian Mas. Biar Mas
Jimmy tambah seger dan
perkasa," katanya sambil
langsung meracik jamu untukku,
tanpa membiarkan aku bicara
dulu.
"Iya deh Mbak coba buatin..,"
kataku.
Wah, saat meracik jamuku itu,
Mbak Sri duduknya jongkok di
depanku yang duduk di atas
kursi. Jelas saja mataku dapat
melihat sempurnanya gundukan
di dada Mbak Sri. Mungkin kalau
dipakaikan Bra, ukurannya 36
atau lebih, terlihat kuning langsat
dan segar, kayak jamunya. Aku
terus menikmati pemandangan
itu sambil berkhayal tentang
bagian tubuh lainnya milik Mbak
Sri.
"Nah.., ini Mas, dicobain dulu
jamunya," Mbak Sri membuatku
kaget lagi sambil menyodorkan
segelas jamunya.
Aku sempat terpana saat melihat
wajah Mbak Sri dari dekat, benar-
benar mulus. Rasanya tidak
pantas deh si Mbak dapat
kerjaan seperti ini, lebih pantas
jadi istri pejabat.
"Ngmm.. si Nurcenya dimana
Mbak..?" aku pura-pura bertanya
sambil menerima gelas jamu
yang disodorkan.
"Oh.. tadi langsung ke pasar.
Katanya mau belanja buat masak
menu makan siang," jawab Mbak
Sri.
Aku pun langsung menengguk
jamunya. Glek..glek..glek.. "Ahh..
agak pahit nih Mbak.."
Kukembalikan gelas jamu itu. Lalu
Mbak Sri menuangkan campuran
gula merah penghilang pahit dan
langsung kutenggak.
"Gimana..? Udah hilang to
pahitnya Mas..?" kata Mbak Sri
sambil mencoba mengikat
kembali kain penggendong jamu,
Mbak Sri memberi tahu tarifnya.
"Semuanya tiga ribu Mas, murah
meriah," katanya.
Kubayar dengan pecahan lima
ribuan.
"Kembaliannya ambil aja Mbak..,
jamunya enak," kataku.
Mbak Sri berterima kasih, tapi
tidak langsung pergi.
"Mas.., tolong angkatkan tempat
jamu ini ke punggung saya ya.."
pintanya.
Duh.., kesempatan nih, aku
langsung berpikir ngeres untuk
melihat bukit di dada Mbak Sri
dari belakang.
"Ohh.. dengan senang hati
Mbak..," kataku.
Perlahan kuangkat tempat jamu
yang lumayan berat itu, lalu aku
mencoba meletakkan pada
lipatan kain di punggung Mbak
Sri. Dan, mataku jelalatan ke
dadanya. Wah, si Mbak nggak
tahu kalau dadanya lagi diintip.
Sekali lagi aku menarik nafas
ketika melihat gundukan daging
di dada Mbak Sri.
"Sudah Mas..?"
Aku sungguh kaget mendengar
suara Mbak Sri, dan tanpa sadar
tubuhku malah terjorok ke
depan hingga kemaluanku yang
sudah mengembang di balik
celana menyentuh pantat Mbak
Sri. Duhai.. lembut sekali bagian
tubuh Mbak Sri itu.
"Eh.., maaf Mbak..," hanya itu
kataku.
"Nggak apa kok," jawabnya, lalu
meninggalkanku di kios
sendirian.
Tidak lama kemudian Nurce
pulang dari pasar dengan
belanjaan yang lumayan banyak.
"Kak Jim.. tolong donk..!"
teriaknya waktu baru turun dari
angkot.
Aku bergegas ke arahnya dan
membantunya mengangkat
belanjaan.
"Apa aja sih ini Nur..? Kok berat
banget..?"
"Ya belanjaan Kak.., buat
seminggu sekalian biar nggak
bolak-balik pasar," jawab Nurce.
Setelah menyusun belanjaan di
lemari es, kami lalu kembali ke
kios.
"Gimana Kak, Mbak Sri sudah
datang..?" tanya Nurce.
"Udah..," jawabku.
"Wah, udah seger dong minum
jamunya Mbak Sri..,"
"He-eh..,"
Tiba-tiba, entah mengapa aku
merasa ada getaran aneh waktu
aku menatap Nurce yang sedang
jongkok membenahi rak
pajangan. Aku jadi ingat
pantatnya Mbak Sri. Apalagi
Nurce pakai celana pendek kolor,
wah aku benar-benar merasa
ada getaran aneh nih. Cantik juga
pembantu kakakku ini, tubuhnya
yang agak bongsor dengan
rambut panjang dan hitam serta
kulit sawo matang tapi bersih.
Huhh.., aku tergoda.
"Eh.. Nur.., bisa pijetin Kakak
nggak? Rasanya baru siip nih
kalau abis minum jamu dipijitin,"
kataku.
"Sebentar ya Kak, saya beresin
ini dulu," jawab Nurce tanpa
melihatku.
Aku bangun dan mendekatinya,
"Sudah deh, itunya nanti saja,
lagian udah siang dan kiosnya
kan sebentar lagi tutup," kataku
sambil menarik tangan Nurce.
Nurce pun menuruti ajakanku.
"Dimana pijitnya Kak..?" Nurce
bertanya.
"Di kamar Kakak saja ya,"
jawabku sambil terus
menariknya ke kamarku yang
letaknya tepat di belakang kios.
Setiba di kamar, aku langsung
buka semua pakaianku, tinggal
CD saja. Dan, Nurce pun tidak
segan-segan lagi langsung
mejijitiku dengan lotion. Nurce
memang sangat akrab
denganku, mungkin sudah
menganggapku sebagai
kakaknya, demikian aku. Tapi
entahlah, hari ini aku benar-
benar ingin bercinta dengannya.
Apa karena oengaruh jamu ya..?
Aku berbaring telentang dan
Nurce memijiti kakiku.
"Wah.., lama-lama kok panas ya
Kak udaranya..?" kata Nurce
yang masih memijiti kakiku.
"Panas ya Nur..? Wah.., mana
kipasnya rusak lagi. Ya udah,
kamu buka baju aja seperti
kakak, nggak apa-apa kok,"
jawabku sekenanya.
Wajah Nurce memerah, "Ah,
Kakak.. Nurce kan malu kalau
telanjang," katanya tersipu.
"Gini aja Nur.. nggak usah dibuka
semuanya.. tinggalin BH sama CD
kamu," kataku seraya
membantunya membuka baju
dan celananya.
Nurce mungkin sangat risih, tapi
tidak berani menolak. Mungkin
karena aku adik majikannya kali
ya. Uppss.., betapa indah bagian
dada Nurce bila tidak ada
bajunya. Wah, mataku makin liar
melihat daging tebal tertutup CD
di selangkangan Nurce. Mulus
juga nih anak.
"Nah, enak kan..? Terusin deh
pijitin Kakak. Sekarang agak ke
atas ya Nur..! Bagian paha,"
pintaku.
"Iya deh Kak.. tapi jangan cerita
siapa-siapa kalau Nurce telanjang
gini di depan Kakak ya," katanya.
Nurce kembali memijitiku di
bagian paha. Nah, kali ini aku
benar-benar terangsang nih.
Kemaluanku sudah sangat
tegang.
Aku lalu bangun dan kupegang
tangan Nurce, "Gantian ya Nur,
kamu Kakak pijitin," pintaku pada
Nurce.
Nurce kaget, tapi tidak dapat
menolak permintaanku. Dia pun
kubaringkan telentang di
kasurku. Aku mulai memolesi
kakinya dengan lition, lalu naik
ke betis dan paha. Begitu
berulang-ulang.
Nurce memejamkan matanya,
mungkin malu. Tapi aku yakin
Nurce menikmati pijatanku. Aku
mulai memberanikan diri
berlama-lama mengusap-usap
pahanya, dan jari-jariku mulai
nakal menggerayangi
selangkangan paha bagian
dalam Nurce.
"Uhh Kak, geli Kak..," kata Nurce
seraya memegangi tanganku.
"Nggak apa-apa Nur, cuma
sebentar..," jawabku.
Aku sudah semakin tegang. Kini
pijatan kualihkan ke tubuhnya.
Awalnya hanya bagian perut, lalu
menjalar hingga belahan dada.
"Kak.. ihh.., geliih Kak..," Nurce
sedikit berteriak sambil ingin
bangkit, tapi tubuhnya kutahan
dengan dua tanganku di
pundaknya.
"Nur.., hmm.., kamu cantik Nur..,"
kataku, dan aku langsung
menyergap bibirnya yang
ranum.
"Emnngff.., Kak Jim.., ehmff.. ja..
nghann.. Kak..!" Nurce coba
berontak, tapi aku lebih kuat.
BH dan CD-nya dengan cepat
luruh di tanganku. Kini Nurce
bugil sama sekali. Aku terus
menghujani tubuhnya dengan
ciuman, hingga Nurce tidak
mampu melawan lagi dan hanya
menangis. Sejenak kuhentikan
kekasaranku.
"Kamu kenapa Nur..? Kamu
nggak suka ya..?" tanyaku.
"Kak.. Nurce takut Kak..," isak
tangis Nurce mulai mengeras.
"Usstt.., nggak apa-apa sayang,
Kak Jim cinta kamu," rayuku.
Mendengar rayuanku itu Nurce
seakan terhipnotis, sehingga
saat aku mulai kembali
melakukan cumbuanku, Nurce
diam saja dan menikmatinya.
Jilatan-jilatan kuberikan di sekitar
payudaranya hingga puting
susunya mekar memerah.
"Hnngg.., sstt Kak, ohh..!" Nurce
mulai mendesah-desah.
Kepalaku mulai turun ke arah
kemaluan Nurce, dan jilatanku
kembali menerpa belahan
vaginanya. Astaga, indah sekali
kemaluan Nurce, kupikir pastilah
masih perawan. Bulu-bulu halus
di sekitar kemaluannya
menebarkan aroma yang
sungguh khas, membuatku
semakin liar menjilati. Kujilati
terus bibir kemaluannya dan
klitorisnya kuberi gigitan kecil,
hingga Nurce tergelinjang.
"Aduuhh ss.., Kakhh..!" jerit Nurce
tertahan.
Kini kubuka CD-ku dan
memampangkan penisku yang
sudah mekar dengan panjang 17
cm di hadapan Nurce. Nurce
memandangi penisku dengan
kagum.
"Ihh besar ya Kak..? Itu nanti
diapain sih Kak..?" lugu sekali
pertanyaan Nurce.
Aku jadi yakin kalau dia memang
masih perawan.
"Tenang ya Nur, ini nanti jadi
enak di pepeknya kamu.
Sekarang kamu diam dan
nikmatin ya..!" kataku.
Kembali kurebahkan tubuh Nurce
telentang. Kini kucoba benamkan
penisku ke vaginanya.
"Akhh.., kok sakit Kak..?"
"Tenang sayang, ini enak kok,"
kutekan sekuatnya penisku dan,
cleps..
"Auhhtt.., ngghmm Kakaak
Jimmhh..," rintih Nurce antara
sakit dan nikmat.
Penisku sudah setengah batang
masuk ke liang perawannya.
Benar-benar masih murni dan
rapat. Aku lalu memompa
perlahan pantatku hingga
kemaluanku menggetarkan
vagina Nurce.
"Kaakh Jimm ennaak Kakhh,
ohhss.. auhh.. Yahh, enakhh..
Kakkh..!" Nuce mulai kenikmatan.
Cukup lama aku menyetubuhi
pembantu kakakku itu, hingga
akhirnya Nurce kejang-kejang
karena orgasme, dan aku dan
spermaku liar menyemprot ke
dalam vagina Nurce secara
bersamaan.
"Kak Jimmy betul cinta saya..?"
tanya Nurce masih berbaring di
sampingku.
"Tentu sayang, kamu begitu
mengairahkan.., jangan bilang ke
Pak Bram ya kalau kita saling
cinta," bujukku.
Sejak saat itu kami sering sekali
melakukan hubungan seks, dan
Nurce makin pintar saja. Apalagi
setiap kali habis menenggak
jamunya Mbak Sri, aku makin
bergairah dan Nurce adalah
labuhan nafsuku. Sampai Jumpa!

No comments:

Post a Comment

Sungguh Puaskah Istri Anda ?