Jadilah Lelaki Perkasa, Seperkasa Kuda Putih

Tuesday, November 30, 2010

pernikahan putriku

Ketika aku mendekati pintu,
suara-suara yang gugup
semakin terdengar lebih
jelas. Mantan istriku, Wati,
yang kuceraikan delapan
tahun yang lalu sedang
memberikan perintah-
perintahnya pada
seseorang. Aku mendengar
suara tawa yang renyah
dari putri bungsuku, Erna
yang berusia sembilan belas
tahun, dan protes dari
kakaknya, Endang, sang
pengantin wanita.
Dalam usianya yang ke-
duapuluhsatu tahun, muda
dan keras kepala, saat
menceritakan padaku kalau
dia akan menikah, aku
terdiam merasa kecewa dan
terguncang, tapi aku
menyembunyikannya
dengan mendoakannya
keberuntungan yang terbaik
dan sebuah kehidupan yang
selalu bahagia. Suara yang
lain tidak aku kenal dan
kutebak kalau itu adalah
suara para pengiring
pengantin, gugup dalam
kebahagiaan mereka untuk
yang lain, barangkali
menantikan hari mereka
sendiri.
Kurapikan dasi kupu-kupuku
dengan bercermin di gang,
aku melihat bayangan diriku
dalam cermin, mengerutkan
dahi merasa tak nyaman
memakai pakaian resmi
yang membatasi ini.
Kuperhatikan diriku,
rambutku masih terlihat
hitam dan bersyukur karena
kulihat bahwa sama sekali
belum ada uban di usia
empat puluh satu tahun ini.
Wajahku terlihat keras
karena tahun-tahun
travellingku dan sering
keluar masuk di lingkungan
yang keras yang notabene
penuh asap dan alkohol. Dan
ketika aku mempelajari mata
lelaki dalam cermin ini, aku
mendapatkan gambaran
akan kehidupan yang
menghantarku hingga di
sini. Aku jumpa Wati istriku
saat kami berdua masih
terlalu muda untuk
membedakan mana yang
baik, dan dia meyakinkanku
si pemain gitar ini bahwa
kami berdua akan bisa
menaklukkan kerasnya
dunia.
Dia adalah lulusan sebuah
perguruan tinggi dengan
pekerjaan tetap dan aku
adalah seorang lelaki yang
pergi bertualang dari kota
satu ke kota lainnya
berkeliling negeri ini. Anak-
anak gadis kami lahir di awal
perkawinan, yang membuat
kami masih bertahan
bersama sekitar lima tahun
lamanya hingga akhirnya
kami berdua menyadari
bahwa hubungan ini sudah
tak dapat dipertahankan
lagi. Dia bertemu dengan
seorang pria lain yang
mempunyai sebuah
kehidupan yang stabil, yang
menurutnya akan lebih baik
untuk kehidupan kedua
putri kami.
Perceraian datang dan
terjadi seperti perkiraan
kami dan aku masih
menetap di dekat mereka
selama beberapa tahun
sampai memperoleh sebuah
lompatan besar sebagai
pemusik studio di ibu kota.
Sejak saat itu, aku mencoba
yang terbaik agar tetap bisa
berhubungan melalui
telepon, lewat kiriman foto,
dan tour keliling yang sekali-
kali singgah di dekat situ.
Dan saat aku menatap dalam
kaca, aku melihat sebuah
penyesalan yang terpancar
ke luar.
“Ayah, apa yang Ayah
lakukan?”
Aku kembali pada
kesadaranku oleh suara
putriku, Erna. Dia terlihat
cantik bahkan di saat
memakai baju pengiring
pengantinnya yang
menggelikan itu. Kulitnya
yang kuning langsat dan
rambutnya yang hitam
pekat terlihat kontras
dibandingkan dengan
warna metalik dari pakaian
itu. Dia tersenyum dalam
kecantikannya yang lugu
dan menatapku dengan
bingung.
“ Hanya mengenang masa
lalu,” kataku.
“Saat seperti ini membuat
kamu berpikir kalau kamu
telah membuat keputusan
yang salah. Bagaimana itu
mempengaruhi hidup orang
lain.” Dia menghiburku
dengan pelukan dan
mengusap bahu dan
punggung lenganku.
“ Ayah lakukan apa yang
harus Ayah lakukan,” dia
berkata.
“ Aku tidak memusuhi Ayah.
Aku akan melakukan hal
yang sama bila berada
dalam posisi tersebut. Aku
akan lebih memilih
pengalaman hidup dari pada
mengambil keputusan
seperti yang diambil Ibu.”
Pijatannya yang lembut
menenangkan
keteganganku, dan saat aku
telah menjadi lebih santai
aku sadari betapa aku
menikmati dadanya yang
menekan tubuhku. Dengan
tinggiku yang sekitar dua
belas centimeter lebih tinggi
daripada Erna, aku
menggerakkan tanganku
dari punggungnya yang
kecil naik ke bahunya yang
telanjang dan menekannya
agar merapat padaku. Dia
membalas memelukku erat
dan tersenyum dengan tidak
berdosa. Kutundukkan
kepalaku, dan memberinya
sebuah ciuman ringan di
atas dahinya, tetapi dia
malah berjinjit pada jari
kakinya dan dengan cepat
menemukan bibirku.
“O-o.., sebaiknya Ibu tidak
melihat. Dia mungkin akan
cemburu. Atau Endang,
mungkin.” dia tertawa genit.
Aku tersenyum pada
kelakarnya dan ketika dia
berjalan sepanjang aula, aku
tidak bisa mempercayai
reaksinya pada perlakuanku
yang dengan pelan
memukul pantatnya.
“ Mungkin nanti, Ayah bisa
mencobanya saat aku tidak
memakai pakaian gembung
ini.”
Gaunnya turun hingga ke
bawah lututnya dan itu
terlihat indah, kaki-kaki itu
laksana sebuah magnet
yang membuat mataku
lengket selalu menatapnya
saat menggerakkan
keindahan ini, saat wanita
muda itu melenggang pergi.
Aku membayangkan pantat
yang manis dan kencang
yang dia miliki. Aku juga
membayangkan seperti apa
rasanya pantat itu di dalam
tanganku ketika dia
menungganginya naik turun
pada penisku, meneriakkan
dengan histeris, “Setubuhi
aku, Ayah. Setubuhi putri
kecilmu. Masukkan penismu
dalam vagina panas
putrimu.” Saat kepergok
sedang memandangi dan
mengkhayalkannya, aku
melihat ke arah putriku yang
menengok ke belakang. Dia
tersenyum dan
menggelengkan kepalanya
saat dia berbelok di ujung
gang itu.
Kembali ke kenyataan, aku
akan mengetuk pada pintu
di mana pengantin wanita
sedang bersiap-siap ketika
mantan istriku Wati
membuka pintu itu dan
keluar.
“ Rudi, kita harus bicara.” dia
berkata dalam sebuah nada
yang memperingatkan. Aku
bergeser dari pintu untuk
memberinya ruang.
“ Endang ingin agar Anton
yang berjalan di sepanjang
karpet itu. Sekarang, kamu
benar-benar tidak punya
alasan untuk
mengganggunya.”
“Aku tidak peduli,” aku
menjawab deklarasinya. Aku
merasa terluka, tapi rasa
bersalahku akan
kehidupanku berkata bahwa
ini adalah konsekwensi dari
keputusan hidupku yang
lain.
“ Aku harap aku bisa bicara
dengannya sebelum
upacara,” kulirik arlojiku.
Masih ada waktu satu jam.
“ Aku ingin meluruskan
beberapa hal. Ingin
mendoakan
keberuntungannya. Hal-hal
seperti itulah.”
“Itu bukan ide yang baik,”
kata Wati.
“ Dia sedang bingung
dengan siapa dia akan
berjalan di karpet itu nanti.
Dia terlalu emosional dan
gelisah sekarang. Aku bilang
padanya bahwa dia sudah
membuat keputusan yang
benar dan kamu akan
memahami itu.”
Aku tidak ingin membuat
masalah, dan aku bisa lihat
aku tidak akan berusaha
melewati sang penjaga
pintu, maka kuanggukkan
kepalaku dan berbalik. Aku
berjalan ke dalam ruangan
di mana sang pendeta
sedang bersiap-siap dan
berbicara dengannya untuk
beberapa menit sebelum dia
pergi untuk meyakinkan
para pelayan altar agar tahu
apa yang harus mereka
lakukan. Dia berkata bahwa
aku boleh tetap berada di
sini jika aku ingin, kuambil
tawarannya dan duduk
pada sofa kulitnya
menghadap jendela dan
melihat orang-orang yang
memakai setelan jas resmi
dan gaun pesta ke dalam
gereja. Pintu terbuka dan
menutup di belakangku.
Mengira kalau yang masuk
adalah sang pendeta, aku
berdiri dan bertanya..
“Apa pekerjaan mereka
beres?”
“Beres?” tanya Erna.
“Ah. Aku pikir kamu si
pendeta.” dia tertawa.
Erna menggantikan
tempatku di sofa ketika aku
berjalan di sekitar jendela
dengan membayangkan
hubungan seks sedarah
kami. Kakinya bertumpu
pada meja kopi di depan
sofa menekuk lututnya saat
dia mengayunkannya maju
mundur, membuka dan
menutup. Gaunnya yang
mulai tersingkap ke atas
pahanya yang
memperlihatkan lebih
banyak bagian dari paha
dalamnya. Gaunnya
tersingkap hingga di atas
lututnya, suaranya
menggesek maju mundur
menyelimuti detak
jantungku yang terus
meningkat. Aku berjalan
semakin dekat untuk
senyuman lezat yang ingin
kucicipi itu tetapi sadar
kalau aku tidak bisa
melakukannya.
Putriku yang berumur
sembilan belas tahun itu
sedang menggodaku. Aku
sering melihat ‘groupies’
untuk mengetahui tentang
apa arti dari godaan, tetapi
groupies lebih blak-blakan.
Semua orang tahu apa yang
mereka inginkan. Ada
sesuatu yang
disembunyikan di sini, kami
berdua tahu apa yang akan
terjadi. Aku yakin kami
berdua bukanlah orang
’suci’. Tapi godaan ini tak
akan berakibat apa pun.
Tidak ada apa pun yang
bisa. Itu salah. Kami tidak
bisa membiarkan sesuatu itu
terjadi. Sesuatu yang
bersifat seksual.
Dia membuka kakinya lebih
lebar, seperti sebuah
undangan agar datang
menikmatinya. Gaunnya
bergerak lebih tinggi dan
aku menangkap sebuah
pandangan sekilas dari
sabuk stocking yang
membungkus di sekitar
paha indahnya. Erna
menurunkan kakinya ke
lantai dan aku takut kalau
aku akan menerkamnya, aku
telah berbuat keterlaluan
dengan nafsu pada
keindahan pahanya. Paha
yang aku inginkan untuk
melingkari tubuhku, yang
kutelusuri dengan tanganku.
Tetapi dia masih tersenyum
saat aku memandangnya,
memainkan pikiranku. Dia
ingin agar aku duduk pada
meja di depannya dan aku
melakukannya, tidak ingin
mengecewakan wanita
muda ini.
“Tetaplah di sini,” dia
berkata.
Aku mematuhi dan menutup
wajahku dengan tangan,
berusaha meredakan
pikiranku yang penuh
gairah. Aku ingin
kehangatan dari seorang
wanita, dan aku ingin
merasakan kehangatan itu
pada penisku. Aku ingin
dadanya di tanganku,
pahanya bergesekan
dengan milikku. Aku
menginginkan perhatian
dan cintanya. Itu salah, atau
kira-kira itulah yang mereka
katakan, untuk bernafsu
pada wanita yang aku
inginkan. Tetapi melihatnya
mengayunkan paha,
menggesekkan ke depan
dan ke belakang,
membayangkan itu adalah
vaginanya yang menggesek,
menelan penisku, merintih
dengan penuh gairah ketika
aku memompa keluar masuk
tubuhnya, aku telah sampai
di garis tepi itu.
Tanganku menutupi
wajahku, pikiranku menjadi
liar. Aku mendengar suara
pintu di seberang ruangan
ditutup di belakangku yang
diikuti oleh suara mengunci
pintu itu. Sepertinya ada dua
orang di sana. Aku
mengintip dari tanganku
dan melihat seorang
pengantin wanita yang
paling cantik dalam hidupku.
Tingginya yang sama
dengan adiknya, dia
mempunyai sebuah wajah
yang sama cantiknya dan
bentuk tubuh sempurna
yang tak berbeda. Jika
rambutnya tidak lebih
panjang, pasti akan sulit
untuk membedakan mereka.
Aku berdiri, penisku masih
keras tapi tersembunyi oleh
pakaian resmi yang kupakai.
Malu dengan pemikiranku
akan Erna, aku mendekati
Endang yang mengenakan
gaun pengantin anggun,
menggairahkan.
“Sayang, kamu cantik
sekali,” kataku.
Paha Endang yang terlihat
menyembul dari balik gaun
putihnya hampir
membuatku meledak di
dalam celana dalamku. Jasku
sedang dibuka oleh
seseorang di belakangku.
Aku menoleh dan
menemukan Erna. Keinginan
yang penuh gairah kembali
lagi. Endang tersenyum pada
Erna dan melihat mata
Endang, aku tahu putri
bungsuku pasti tersenyum
juga. Aku mulai untuk
mencoba katakan sesuatu,
tapi Endang memotong..
“Ayah,” dia berkata.
“Ayah yang manis, lembut..”,
katanya lagi.
Dia bergerak semakin dekat
kepadaku seiring kurasa
tangan Erna mengelus
lenganku kemudian
menyeberang ke dadaku.
Aku pikir aku sedang
bermimpi dan aku ingin
terbangun agar aku bisa
segera melakukan
masturbasi dan
mengeluarkan bayangan ini
dari pikiranku. Tapi ini
bukan sebuah mimpi.
“Aku tahu Ayah merasa
bahwa sepertinya Ayah
sudah menelantarkan kami.
Tapi, kami tahu bahwa Ayah
sudah mencoba yang
terbaik. Kami tahu bahwa
Ibu saja yang sulit
menerimanya.”
“Kami mencintai Ayah.
Waktu yang pernah kita
lewati bersama sangat
berharga.” Erna
menambahkan ketika dia
tetap membelai dadaku,
kemudian dia dengan
lembutnya mencium leherku.
Nafasnya yang halus
menggetarkan tubuhku.
“ Sebenarnya, kami sangat
menginginkan Ayah,” kata
Endang saat dia telah
dengan sepenuhnya
merapat.
“ Ini adalah khayalanku,”
katanya sebelum dengan
singkat mencicipi bibirku.
Tanganku bergerak ke
bawah gaun pengantinnya,
meluncur di atas kedua
pahanya. Dagingnya yang
halus tidak mengenakan
stocking. Saat tangan kiriku
mencapai kelembabannya,
rambut kemaluannya, aku
tahu dia ingin disetubuhi.
Penisku semakin keras saat
lidah bernafsu Endang
menjadi lebih agresif dan
mengatakan padaku bahwa
penis Ayahnya inilah yang
dia inginkan di dalam
vaginanya.
“Katakan pada Ayah betapa
kamu sangat menginginkan
dia, Endang.”
Erna sudah pindah dari
belakangku ke belakang
Endang. Saat aku sedang
mengelus paha Endang
dengan satu tangan dan
menggoda bibir vaginanya
dengan jari dari tangan
yang lainnya, Erna sedang
mengelus dada kakaknya
dan mencium lehernya dan
memegangi telinganya.
Kemudian aku merasa
tangan Erna bergabung
dengan tanganku dalam
merasakan vagina kakaknya
yang basah.
“Ohh, ya, Ayah,” erang
Endang lirih. Celana dalamku
terlepas dan putriku
mendapatkan penisku di
dalam genggaman
tangannya. Dia menyeka
beberapa precum dengan
jarinya dan menghisapnya
ke dalam mulutnya sebelum
menarikku kembali dalam
sebuah ciuman.
“ Aku ingin Ayah
menyetubuhiku, Ayah.
Setubuhi gadis kecilmu yang
nakal ini.”
Vagina Endang yang panas
adalah hal terbaik yang
pernah dirasakan jariku, dan
saat dia menjauh, mereka
dibuatnya sedih. Tetapi dia
lalu duduk di atas sofa, lutut
ditekuk dan kaki
mengangkang terbuka,
seperti yang dilakukan Erna
sebelumnya. Dia
menyingkap gaunnya
hingga dapat kulihat
gundukan dagingnya yang
menggairahkan di bawah
gaun pengantinnya. Erna
memanfaatkan kesempatan
yang ditinggalkan kakaknya
untuk berlutut dan
mengambil penis kerasku ke
dalam mulut mudanya. Aku
membungkukkan kepalaku
dan membelai rambutnya
saat dia menghisap batang
tebalku. Melalui mataku yang
hampir terpejam, aku bisa
melihat Endang yang
memainkan kelentitnya,
menjilat sari buahnya.
Endang tidak bisa
membendungnya lagi, dan
tak pasti berapa lama
hisapan adiknya yang
sempurna ini sanggup
kuhadapi, sebab dia
perintahkan padaku agar
datang padanya.
“Kemarilah dan setubuhi
aku, Ayah. Aku ingin penis
besar Ayah di dalam vagina
panasku sekarang. Aku ingin
kita keluar bersama.”
Erna mendengar rintihan
kakaknya dan melepaskanku
dari genggamannya,
mendekat ke Endang. Kedua
putriku mulai saling
mencium, Erna memberi
kakak kandungnya sebuah
rasa dari apa yang akan
segera dialami vaginanya.
Aku bergerak di antara paha
Endang, meluncurkan
tanganku pada daging yang
paling berharga yang
kutahu, putriku.
“Ohh, Sayang. Kamu sangat
indah. Ayah tidak bisa
mencegahnya. Penisku
terasa sakit karena kamu.”
Aku mengagumi kecantikan
dan keindahannya dan
mendekatkan wajahku pada
vagina basahnya. Sari
buahnya sangat
merangsang dan lidahku
melingkari bibirnya,
mengambil cintanya di
dalamnya.
“ Ohh, Ayah,” desahnya saat
aku menyisipkan lidahku
sedalam-dalamnya,
kemudian menarik keluar
dan mencicipi daging yang
melingkupi kelentitnya.
“ Aku sangat ingin Ayah
menyetubuhiku.”
Penisku tidak bisa kutahan
lagi. Aku harus merasakan
kehangatan putriku pada
penisku. Aku bangkit
dengan perasaan yang
sangat bersemangat
mendapatkan seorang
wanita muda yang dengan
sepenuhnya
mengharapkanmu dalam
hidupnya dan melihat Erna
yang sedang menghisap
puting susu kakaknya.
Kupegang penisku
mengarah ke daging basah
Endang yang membuka,
merasakan darahku
terpompa di bawah jariku.
Pelan-pelan kuselipkan
dalam sebuah dorongan
pendek, kehangatannya
terasa berlimpah saat aku
mempertimbangkan
konsekwensi tindakan
terlarang ini. Aku
menginginkan wanita muda
ini, putri kandungku sendiri.
Endang melingkarkan
kakinya di punggungku,
seolah-olah merasakan
keraguanku, dan menarikku
dengan penuh ke dalamnya.
“Kumohon, setubuhi aku.
Ohh Tuhan, penis besar
Ayah terasa hebat. Keluarlah
di dalamku, Ayah. Aku ingin
merasakan sperma Ayah
menetes ke kakiku saat aku
katakan janjiku di depan
pendeta.”
“Ohh, sayang. Vaginamu
sangat panas dan ketat di
penis besar Ayah. Ini adalah
vagina terbaik yang pernah
kurasakan. Ayah ingin
menyetubuhi kedua putriku
melebihi apa pun di dunia
ini.” aku memompanya
dengan penuh cinta, tetapi
perasaan ini tumbuh terlalu
liar untuk dikendalikan.
“ Katakan kamu ingin
Ayahmu bagaimana,
Sayang.”
“Ohh Tuhan. Aku keluar
Ayah. Keluarlah bersamaku.”
pinggulnya menusukkan
vaginanya lebih ke dalam
penisku.
“ Setubuhi putrimu lebih
keras,” Erna memerintahkan.
Aku memandang dari nafsu
kusamku untuk melihat
kedua anak gadisku saling
melilitkan lidahnya dalam
mulut mereka satu sama lain.
“Vaginamu sangat nikmat di
penis kerasku, sayang. Ayah
akan keluar. Aku
mencintaimu sayang.”
Lalu, kedua tubuh kami
meledak dalam sebuah
orgasme yang tak
terkendalikan. Gelombang
demi gelombang spermaku
kupompa ke dalam putriku,
vaginanya memijat keluar
tiap-tiap tetesan akhir,
kakinya menekan pantatku
merapat kepadanya.
Kemudian penisku mengecil
di dalam vagina Endang, dan
aku memberinya sebuah
ciuman penuh kasih.
“Aku mencintaimu, Endang.
Akan kulakukan apa pun
untukmu. Untuk kalian
berdua.”
“Itu bagus,” kata Erna saat
dia melangkah keluar dari
pakaian pengiring
pengantinnya, bra hitamnya
dan sepatu bertumit tinggi
yang dia kenakan, sangat
cocok padanya.
“ Sebab aku mulai cemburu
melihat penis besar Ayah di
dalam vagina Kakak.” dia
menggantikan posisiku di
antara kaki kakaknya ketika
aku bergeser ke samping.
Putri-putriku yang nakal
mulai saling berciuman dan
aku memindahkan meja
menjauh agar aku dapat
berdiri di belakang Erna.
Endang melepaskan bra
adiknya yang memberi efek
langsung pada penisku yang
mengeras, tetapi itu masih
belum sepenuhnya siap
benar. Tanganku mengelus
pinggul Erna ketika aku
menggosokkan penisku
pada pantat dan sela
pahanya. Aku merasa dia
akan bangkit, maka kuberi
ruang padanya saat aku
menyadari bahwa dia
sedang turun pada
kakaknya.
Mata Endang terpejam, tapi
aku bisa melihat kesenangan
yang murni pada wajahnya
ketika adiknya mencicipi
campuran dari orgasme adik
dan ayahnya. Erna telah siap
untuk disetubuhi. Dia
membentangkan kakinya
terpisah dan dengan
sepatunya yang bertumit
tinggi dan kepalanya turun
pada kakaknya, pantatnya
bergoyang dengan
sempurna. Aku harus
mencicipinya dulu. Maka aku
turun ke atas lantai di antara
kakinya, dan mengangkat
kepalaku ke atas, mulai
menjilati vagina basahnya.
Dia membantuku dengan
satu jarinya yang
menggosok kelentitnya
ketika aku menjilat ke dalam
bibir vaginanya.
Rintihannya mengirimku ke
garis tepi itu. Kami semua
tidak mampu
membendungnya lagi. Aku
bangkit di belakangnya
dengan tanganku
memegangi pinggulnya,
masih mengayun dan
kakinya lebih jauh
terpentang, lidahnya masih
memberi kenikmatan pada
kakaknya lebih lagi. Aku
menatap pahanya, ditopang
oleh tumitnya, dan teringat
dia saat berjalan di
sepanjang aula itu. Dengan
memejamkan mata, aku
menarik kami bersama,
penis gemukku menekan
jauh ke dalam vaginanya
yang hangat dan basah.
“ Ohh, Erna.” aku mengerang
dalam masing-masing
ayunanku yang lembut.
“ Sayang, kamu sangat
seksi.” tanganku meremas
pantat dan pinggulnya yang
bergerak seiring ayunanku.
“ Melihatmu mengoral
kakakmu membuat Ayah
akan keluar lagi.”
“Ayah, penis besar Ayah
terasa sangat nikmat
bergerak keluar masuk.
Pelanlah agar kita dapat
keluar bersama.”
Aku memenuhi harapannya.
Bergerak dengan penuh
rasa nikmat dalam gerakan
lambat saat aku ingin
menusuknya yang terakhir
kalinya dengan dalam, aku
menahan diriku. Bola
zakarku mengencang untuk
pelepasan, penisku tumbuh
lebih gemuk, aku harus
melepaskan tali orgasme ini.
Pemandangan dari kedua
putriku bersama dengan
Ayah mereka, perasaan
keduanya yang
membungkusku,
mencintaiku, membuatku
berakhir, tak bisa lagi
kukendalikan. Perutku mulai
mengencang.
“Sayang, Ayah keluar.” aku
merasa spermaku bergerak
dari dalam tubuhku bersiap
untuk meledak dengan tiap
tusukannya.
“ Keluarlah di dalamku, Ayah.
Campurkan dengan milikku.”
Aku sudah menunggu terlalu
lama. Kontraksi putriku di
sekitar batangku
meledakkan sperma dari
penisku.
“ Brengsek,” aku mengumpat
dalam hati saat aku tetap
memompa anak gadisku,
mataku terpejam tak
menghiraukan dunia ini.
Sebelum sperma terakhirku
habis, aku merasa seseorang
memegang lengan
tanganku. Itu adalah Endang.
Dia berlutut menuju ke
pantat adiknya dan
menarikku ke luar. Erna
berpaling dengan kelelahan
yang terlukis pada
wajahnya dan tersenyum
saat kakaknya berkata..
“Aku ingin mencium
suamiku dengan rasa dari
dua orang yang paling
kucintai di dalam mulutku.
Adik dan Ayahku
tersayang.”
Lalu aku menutup mataku
dan merasakan mulut indah
lembutnya, memeras sperma
terakhir keluar dari tubuhku.

No comments:

Post a Comment

Sungguh Puaskah Istri Anda ?