Untuk mempersingkat waktu, maka saya akan langsung saja
menceritakan cerita baru. Namun perlu diingat bahwa ini
hanya sebuah cerita fiktif dan bukan cerita nyata.
Dilarang keras untuk berpikir bahwa cerita ini nyata.
karena cerita ini memang fiktif belaka.
Namaku Winie, umurku sudah 35 tahun dengan dua orang
anak yang sudah beranjak dewasa. Waktu menikah umurku
masih 19 tahun dan sekarang anakku yang paling tua sudah
berumur 15 tahun sedang yang bungsu berumur 13 tahun.
Kedua anakku disekolahkan di luar negeri semua sehingga
di rumah hanya aku dan suami serta dua orang pembantu
yang hanya bekerja untuk membersihkan perabot rumah
serta kebun, sementara menjelang senja mereka pulang.
Suamiku sebagai seorang usahawan memiliki beberapa usaha
di dalam dan luar negri. Kesibukannya membuat suamiku
selalu jarang berada di rumah. Bila suamiku berada di
rumah hanya untuk istirahat dan tidur sedang pagi-pagi
sekali dia sudah kembali leyap dalam pandangan mataku.
Hari-hariku sebelum anakku yang bungsu menyusul kakaknya
yang sudah lebih dulu menuntut ilmu di luar negeri
terasa menyenangkan karena ada saja yang dapat
kukerjakan, entah itu untuk mengantarkannya ke sekolah
ataupun membantunya dalam pelajaran. Namun semenjak tiga
bulan setelah anakku berada di luar negeri hari-hariku
terasa sepi dan membosankan. Terlebih lagi bila suamiku
sedang pergi dengan urusan bisnisnya yang berada di luar
negeri, bisa meninggalkan aku sampai 2 mingguan lamanya.
Aku tidak pernah ikut campur urusan bisnisnya itu
sehingga hari-hariku kuisi dengan jalan-jalan ke mall
ataupun pergi ke salon dan terkadang melakukan senam.
Sampai suatu hari kesepianku berubah total karena
supirku. Suatu hari setibanya di rumah dari tempatku
senam supirku tanpa kuduga memperkosaku.
Seperti biasanya begitu aku tiba di dalam rumah, aku
langsung membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalam
rumah dan melangkahkan kakiku menaiki anak tangga yang
melingkar menuju lantai dua dimana kamar utama berada.
Begitu kubuka pintu kamar, aku langsung melemparkan
tasku ke bangku yang ada di dekat pintu masuk dan aku
langsung melepas pakaian senamku yang berwarna hitam
hingga tinggal BH dan celana dalam saja yang masih
melekat pada tubuhku. Saat aku berjalan hendak memasuki
ruang kamar mandi aku melewati tempat rias kaca milikku.
Sesaat aku melihat tubuhku ke cermin dan melihat tubuhku
sendiri, kulihat betisku yang masih kencang dan
berbentuk mirip perut padi, lalu mataku mulai beralih
melihat pinggulku yang besar seperti bentuk gitar dengan
pinggang yang kecil kemudian aku menyampingkan tubuhku
hingga pantatku terlihat masih menonjol dengan
kencangnya.
Kemudian kuperhatikan bagian atas tubuhku, buah dadaku
yang masih diselimuti BH terlihat jelas lipatan bagian
tengah, terlihat cukup padat berisi serta, “Ouh…
ngapain kamu di sini!” sedikit terkejut ketika aku
sedang asyik-asyiknya memandangi kemolekan tubuhku
sendiri tiba-tiba saja kulihat dari cermin ada kepalanya
supirku yang rupanya sedang berdiri di bibir pintu
kamarku yang tadi lupa kututup.
“Jangan ngeliatin… sana cepet keluar!” bentakku dengan
marah sambil menutupi bagian tubuhku yang terbuka.
Tetapi supirku bukannya mematuhi perintahku malah
kakinya melangkah maju satu demi satu masuk kedalam
kamar tidurku.
“Aris… Saya sudah bilang cepat keluar!” bentakku lagi
dengan mata melotot.
“Silahkan ibu teriak sekuatnya, hujan di luar akan
melenyapkan suara ibu!” ucapnya dengan matanya menatap
tajam padaku.
Sepintas kulihat celah jendela yang berada di sampingku
dan ternyata memang hujan sedang turun dengan lebat,
memang ruang kamar tidurku cukup rapat
jendela-jendelanya hingga hujan turun pun takkan
terdengar hanya saja di luar sana kulihat dedaunan dan
ranting pohon bergoyang tertiup angin kesana kemari.
Detik demi detik tubuh supirku semakin dekat dan terus
melangkah menghampiriku. Terasa jantungku semakin
berdetak kencang dan tubuhku semakin menggigil
karenanya. Aku pun mulai mundur teratur selangkah demi
selangkah, aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu
sampai akhirnya kakiku terpojok oleh bibir ranjang
tidurku.
“Mas… jangan!” kataku dengan suara gemetar.
“Hua… ha… ha… ha…!” suara tawa supirku saat
melihatku mulai kepepet.
“Jangan…!” jeritku, begitu supirku yang sudah berjarak
satu meteran dariku menerjang tubuhku hingga tubuhku
langsung terpental jatuh di atas ranjang dan dalam
beberapa detik kemudian tubuh supirku langsung menyusul
jatuh menindih tubuhku yang telentang.
Aku terus berusaha meronta saat supirku mulai
menggerayangi tubuhku dalam himpitannya. Perlawananku
yang terus-menerus dengan menggunakan kedua tangan dan
kedua kakiku untuk menendang-nendangnya terus membuat
supirku juga kewalahan hingga sulit untuk berusaha
menciumi aku sampai aku berhasil lepas dari himpitan
tubuhnya yang besar dan kekar itu. Begitu aku mendapat
kesempatan untuk mundur dan menjauh dengan membalikkan
tubuhku dan berusaha merangkak namun aku masih kalah
cepat dengannya, supirku berhasil menangkap celana
dalamku sambil menariknya hingga tubuhku pun jatuh
terseret ke pinggir ranjang kembali dan celana dalam
putihku tertarik hingga bongkahan pantatku terbuka.
Namun aku terus berusaha kembali merangkak ke tengah
ranjang untuk menjauhinya. Lagi-lagi aku kalah cepat
dengan supirku, dia berhasil menangkap tubuhku kembali
namun belum sempat aku bangkit dan berusaha merangkak
lagi, tiba-tiba saja pinggulku terasa kejatuhan benda
berat hingga tidak dapat bergerak lagi.
“Aris… Jangan… jangan… mas…” kataku
berulang-ulang sambil terisak nangis.
Rupanya supirku sudah kesurupan dan lupa siapa yang
sedang ditindihnya. Setelah melihat tubuhku yang sudah
mulai kecapaian dan kehabisan tenaga lalu supirku dengan
sigapnya menggenggam lengan kananku dan menelikungnya
kebelakan tubuhku begitu pula lengan kiriku yang
kemudian dia mengikat kedua tanganku kuat-kuat, entah
dengan apa dia mengikatnya. Setelah itu tubuhnya yang
masih berada di atas tubuhku berputar menghadap kakiku.
Kurasakan betis kananku digenggamnya kuat-kuat lalu
ditariknya hingga menekuk. Lalu kurasakan pergelangan
kaki kananku dililitnya dengan tali. Setelah itu kaki
kiriku yang mendapat giliran diikatkannya bersama dengan
kaki kananku.
“Saya ingin mencicipi ibu…” bisiknya dekat telingaku.
“Sejak pertama kali saya melamar jadi supir ibu, saya
sudah menginginkan mendapatkan kesempatan seperti
sekarang ini.” katanya lagi dengan suara nafas yang
sudah memburu.
“Tapi saya majikan kamu Ris…” kataku mencoba
mengingatkan.
“Memang betul bu… tapi itu waktu jam kerja, sekarang
sudah pukul 7 malam berarti saya sudah bebas tugas…”
balasnya sambil melepas ikatan tali BH yang kukenakan.
“Hhh mmm uuhhh,” desah nafasnya memenuhi telingaku.
“Tapi malam ini bu Winie harus mau melayani saya,”
katanya sambil terus mendengus-denguskan hidungnya di
seputar telingaku hingga tubuhku merinding dan geli.
Setelah supirku melepas pakaiannya sendiri lalu tubuhku
dibaliknya hingga telentang. Aku dapat melihat tubuh
polosnya itu. Tidak lama kemudian supirku menarik kakiku
sampai pahaku melekat pada perutku lalu mengikatkan tali
lagi pada perutku. Tubuhku kemudian digendongnya dan
dibawanya ke pojok bagian kepala ranjang lalu
dipangkunya di atas kedua kaki yang diselonjorkan, mirip
anak perempuan yang tubuhnya sedang dipeluk ayahnya.
Tangan kirinya menahan pundakku sehingga kepalaku
bersandar pada dadanya yang bidang dan terlihat otot
dadanya berbentuk dan kencang sedangkan tangan kanannya
meremasi kulit pinggul, pahaku dan pantatku yang kencang
dan putih bersih itu.
“Aris… jangan Ris… jangan!” ucapku berulang-ulang
dengan nada terbata-bata mencoba mengingatkan
pikirannya.
Namun Aris, supirku tidak memperdulikan perkataanku
sebaliknya dengan senyum penuh nafsu terus saja
meraba-raba pahaku.
“Ouh… zzzt… Euh…” desisku panjang dengan tubuh
menegang menahan geli serta seperti terkena setrum saat
kurasakan tangannya melintasi belahan kedua pahaku.
Apalagi telapak dan jemari tangannya berhenti tepat di
tengah-tengah lipatan pahaku.
“Masss… Eee” rintihku lebih panjang lagi dengan
bergetar sambil memejapkan mata ketika kurasakan
jemarinya mulai mengusap-usap belahan bibir vaginaku.
Tangan mas Aris terus menyentuh dan bergerak dari bawah
ke atas lalu kembali turun lagi dan kembali ke atas lagi
dengan perlahan sampai beberapa kali. Lalu mulai sedikit
menekan hingga ujung telunjuknya tenggelam dalam lipatan
bibir vaginaku yang mulai terasa berdenyut-denyut, gatal
dan geli.
Tangannya yang terus meraba dan menggelitik-gelitik
bagian dalam bibir vaginaku membuat birahiku jadi naik
dengan cepatnya, apalagi sudah cukup lama tubuhku tidak
pernah mendapatkan kehangatan lagi dari suamiku yang
selalu sibuk dan sibuk. Entah siapa yang memulai duluan
saat pikiranku sedang melayang kurasakan bibirku sudah
beradu dengan bibirnya saling berpagut mesra, menjilat,
mengecup, menghisap liur yang keluar dari dalam mulut
masing-masing.
“Ouh… Winie… wajahmu cukup merangsang sekali
Winie…!” ucapnya dengan nafasnya yang semakin memburu
itu.
Setelah berkata begitu tubuhku ditarik hingga buah
dadaku yang menantang itu tepat pada mukanya dan
kemudian, “Ouh… mas…” rintihku panjang dengan kepala
menengadah kebelakan menahan geli bercampur nikmat yang
tiada henti setelah mulutnya dengan langsung memagut
buah dadaku yang ranum itu. Kurasakan mulutnya menyedot,
memagut, bahkan menggigit-gigit kecil punting susuku
sambil sekali-kali menarik-narik dengan giginya.
Entah mengapa perasaanku saat itu seperti takut, ngeri
bahkan sebal bercampur aduk di dalam hati, namun ada
perasaan nikmat yang luar biasa sekali seakan-akan ada
sesuatu yang pernah lama hilang kini kembali datang
merasuki tubuhku yang sedang dalam keadaan tidak berdaya
dan pasrah. “Bruk…” tiba-tiba tangan mas Aris
melepaskan tubuhku yang sedang asyik-asyiknya aku
menikmati sedalam-dalamnya tubuhku yang sedang melambung
dan melayang-layang itu hingga tubuhku terjatuh di atas
ranjang tidurku. Tidak berapa lama kemudian kurasakan
bagian bibir vaginaku dilumat dengan buas seperti orang
yang kelaparan. Mendapat serangan seperti itu tubuhku
langsung menggelinjang-gelinjang dan rintihan serta
erangan suaraku semakin meninggi menahan geli bercampur
nikmat sampai-sampai kepalaku bergerak menggeleng ke
kanan dan ke kiri berulang-ulang. Cukup lama mulutnya
mencumbu dan melumati bibir vaginaku terlebih-lebih pada
bagian atas lubang vaginaku yang paling sensitif itu.
“Aris… sudah… sudah… ouh… ampun Aar.. riss…”
rintihku panjang dengan tubuh yang mengejang-ngejang
menahan geli yang menggelitik bercampur nikmat yang luar
biasa rasanya saat itu. Lalu kurasakan tangannya pun
mulai rebutan dengan bibirnya. Kurasakan jarinya dicelup
ke dalam lorong kecil kemaluanku dan mengorek-ngorek isi
dalamnya.
“Ouh… Ris…” desisku menikmati alur permainannya yang
terus terang belum pernah kudapatkan bahkan dengan
suamiku sendiri.
“Sabar Win…, saya suka sekali dengan lendirmu sayang!”
suara supirku yang setengah bergumam sambil terus
menjilat dan menghisap-hisap tanpa hentinya sampai
beberapa menit lagi lamanya.
Setelah puas mulutnya bermain dan berkenalan dengan
bibir kemaluanku yang montok itu si Aris lalu mendekati
wajahku sambil meremas-remas buah dadaku yang ranum dan
kenyal itu.
“Bu Winie…, saya entot sekarang ya… sayang…”
bisiknya lebih pelan lagi dengan nafas yang sudah
mendesah-desah. “Eee…” pekikku begitu kurasakan di
belahan pangkal pahaku ada benda yang cukup keras dan
besar mendesak-desak setengah memaksa masuk belahan
bibir vaginaku.
“Tenang sayang… tenang… dikit lagi… dikit lagi…”
“Aah… sak… kiiit..!” jeritku keras-keras menahan
ngilu yang amat sangat sampai-sampai terasa duburku
berdenyut-denyut menahan ngilunya. Akhirnya batang penis
supirku tenggelam hingga dalam dibalut oleh lorong
kemaluanku dan terhimpit oleh bibir vaginaku.
Beberapa saat lamanya, supirku dengan sengaja, penisnya
hanya didiamkan saja tidak bergerak lalu beberapa saat
lagi mulai terasa di dalam liang vaginaku penisnya
ditarik keluar perlahan-lahan dan setelah itu didorong
masuk lagi, juga dengan perlahan-lahan sekali
seakan-akan ingin menikmati gesekan-gesekan pada
dinding-dinding lorong yang rapat dan terasa
bergerenjal-gerenjal itu. Makin lama gerakannya semakin
cepat dan cepat sehingga tubuhku semakin berguncang
dengan hebatnya sampai, “Ouhhh…”
Tiba-tiba suara supirku dan suaraku sama-sama beradu
nyaring sekali dan panjang lengkingannya dengan diikuti
tubuhku yang kaku dan langsung lemas bagaikan tanpa
tulang rasanya. Begitu pula dengan tubuh supirku yang
langsung terhempas kesamping tubuhku.
“Sialan kamu Ris!” ucapku memecah kesunyian dengan nada
geram.
Setelah beberapa lama aku melepas lelah dan nafasku
sudah mulai tenang dan teratur kembali.
“Kamu gila Ris, kamu telah memperkosa istri majikanmu
sendiri, tau!” ucapku lagi sambil memandang tubuhnya
yang masih terkulai di samping sisiku.
“Bagaimana kalau aku hamil nanti?” ucapku lagi dengan
nada kesal.
“Tenang bu Winie.., saya masih punya pil anti hamil, bu
Winie.” ucapnya dengan tenang.
“Iya… tapi kan udah telat!” balasku dengan sinis dan
ketus.
“Tenang bu… tenang… setiap pagi ibu kan selalu minum
air putih dan selama dua hari sebelumnya saya selalu
mencampurkan dengan obatnya jadi bu Winie enggak usah
khawatir bakalan hamil bu,” ucapnya malah lebih tenang
lagi.
“Ouh… jadi kamu sudah merencanakannya, sialan kamu
Ris…” ucapku dengan terkejut, ternyata diam-diam
supirku sudah lama merencanakannya.
“Bagaimana bu Winie…?”
“Bagaimana apanya? Sekarang kamu lepasin saya Ris…”
kataku masih dengan nada kesal dan gemas.
“Maksudnya, tadi waktu di Entotin enak kan?” tanyanya
lagi sambil membelai rambutku.
Wajahku langsung merah padam mendengar apa yang baru
saja diucapkan oleh supirku, namun dalam hati kecilku
tidak dapat kupungkiri walaupun tadi dia sudah
memperkosa dan menjatuhkan derajatku sebagai majikannya,
namun aku sendiri turut menikmatinya bahkan aku sendiri
merasakan organsime dua kali.
“Kok ngak dijawab sich!” tanya supirku lagi.
“Iya..iya, tapi sekarang lepasin talinya dong Aris!”
kataku dengan menggerutu karena tanganku sudah pegal dan
kaku.
“Nanti saja yach! Sekarang kita mandi dulu!” ucapnya
sambil langsung menggendong tubuhku dan membawa ke kamar
mandi yang berada di samping tempat ranjangku. Tubuhku
yang masih lemah lunglai dengan kedua tangan dan kakiku
yang masih terikat itu diletakkan di atas lantai keramik
berwarna krem muda yang dingin tepat di bawah pancuran
shower yang tergantung di dinding. Setelah itu supirku
menyalakan lampu kamar mandiku dan menyalakan kran air
hingga tubuhku basah oleh guyuran air dingin yang turun
dari atas pancuran shower itu. Melihat tubuhku yang
sudah basah dan terlihat mengkilat oleh pantulan lampu
kamar mandi lalu Aris supirku berjongkok dekatku dan
kemudian duduk di sampingku hingga tubuhnya pun turut
basah oleh air yang turun dari atas.
Mata supirku yang memandangiku seperti terlihat lain
dari biasanya, dia mulai mengusap rambutku yang basah ke
belakang dengan penuh sayang seperti sedang menyayang
seorang anak kecil. Lalu diambilnya sabun Lux cair yang
ada di dalam botol dan menumpahkan pada tubuhku lalu dia
mulai menggosok-gosok tubuhku dengan telapak tangannya.
Pinggulku, perutku lalu naik ke atas lagi ke buah dadaku
kiri dan kemudian ke buah dadaku yang kanan. Tangannya
yang terasa kasar itu terus menggosok dan menggosok
sambil bergerak berputar seperti sedang memoles mobil
dengan cairan kits. Sesekali dia meremas dengan lembut
buah dada dan punting susuku hingga aku merasa geli
dibuatnya, lalu naik lagi di atas buah dadaku, pundakku,
leherku lalu ke bahuku, kemudian turun lagi ke lenganku.
“Ah… mas…” pekikku ketika tangannya kembali turun
dan turun lagi hingga telapak tangannya menutup bibir
vaginaku.
Kurasakan telapak tangannya menggosok-gosok bibir
vaginaku naik turun dan kemudian membelah bibir vaginaku
dengan jemari tangannya yang lincah dan cekatan dan
kembali menggosok-gosokkannya hingga sabun Lux cair itu
menjadi semakin berbusa.
Setelah memandikan tubuhku lalu dia pun membasuh
tubuhnya sendiri sambil membiarkan tubuhku tetap
bersandar di bawah pancuran shower. Usai membersihkan
badan, supirku lalu menggendongku keluar kamar mandi dan
menghempaskan tubuhku yang masih basah itu ke atas kasur
tanpa melap tubuhku terlebih dahulu.
“Saya akan bawakan makanan ke sini yach!” ucapnya sambil
supirku melilit handuk yang biasa kupakai kepinggangnya
lalu ngeloyor ke luar kamarku tanpa sempat untuk aku
berbicara. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pernah
merasakan kehangatan yang demikian memuncak, karena
keegoisan suamiku yang selalu sibuk dengan pekerjaan.
Memang dalam hal keuangan aku tidak pernah kekurangan.
Apapun yang aku mau pasti kudapatkan, namun untuk urusan
kewajiban suami terhadap istrinya sudah lama tidak
kudapatkan lagi.
Entah mengapa perasaanku saat ini seperti ada rasa
sedang, gembira atau.. entah apalah namanya. Yang pasti
hatiku yang selama ini terasa berat dan bosan hilang
begitu saja walaupun dalam hati kecilku juga merasa
malu, benci, sebal dan kesal. Supirku cukup lama
meninggalkan diriku sendirian, namun waktu kembali
rupanya dia membawakan masakan nasi goreng dengan telor
yang masih hangat serta segelas minuman kesukaanku. Lalu
tubuhku disandarkan pada teralis ranjang.
“Biar saya yang suapin bu Winie yach!” ucapnya sambil
menyodorkan sesendok nasi goreng yang dibuatnya.
“Kamu yang masak Ris!” tanyaku ingin tahu.
“Iya, lalu siapa lagi yang masak kalau bukan saya, kan
di rumah cuma tinggal kita berdua, si Wati kan udah saya
suruh pulang duluan sebelum hujan tadi turun!” kata
supirku.
“Ayo dicicipi!” katanya lagi.
Mulanya aku ragu untuk mencicipi nasi goreng buatannya,
namun perutku yang memang sudah terasa lapar, akhirnya
kumakan juga sesendok demi sesendok. Tidak kusangka nasi
goreng buatannya cukup lumanyan juga rupanya. Tanpa
terasa nasi goreng di piring dapat kuhabisi juga.
“Bolehkan saya memanggil bu Winie dengan sebutan mbak?”
tanyanya sambil membasuh mulutku dengan tissue.
“Boleh saja, memang kenapa?” tanyaku.
“Engga apa-apa, biar enak aja kedengaran di kupingnya.”
Kalau saya boleh manggil Mbak Winie, berarti bu Winie
eh… salah maksudnya Mbak Winie, panggil saya Bang aja
yach!” celetuknya meminta.
“Terseh kamu saja ” kataku.
“Sudah ngak capai lagi kan mbak Winie!” sahut supirku.
“Memang kenapa!?” tanyaku.
“Masih kuatkan?” tanyanya lagi dengan senyum binal
sambil mulai meraba-raba tubuhku kembali.
Aku tidak memberi jawaban lagi, hanya menunduk malu,
tadi saja aku diperkosanya malah membuatku puas
disetubuhinya apalagi untuk babak yang kedua kataku
dalam hati. Sejujurnya aku tidak rela tubuhku
diperkosanya namun aku tidak mampu untuk menolak
permintaannya yang membuat tubuhku dapat melayang-layang
di udara seperti dulu saat aku pertama kali menikah
dengan suamiku.
************
Malam itu sopirku memuaskan
nafsunya dan menghisapi manisnya madu
yang keluar dari dalam liang kemaluanku
sepuas-puas hatinya hingga menjelang
pagi sekitar jam 4 pagi, dan sopirkupun
ikut tidur disampingku setelah dia
melepas semua ikatan talinya.
Sejak kejadian malam itu hari-hari
berikutnya selalu berulang dengan
kenikmatan tanpa aku mampu untuk
menolak setiap permintaannya bahkan
tubuhku sendiri sudah kuserahkan bulat-
bulat padanya. Bahkan dimana suamiku
tidak sedang dalam urusan bisnis di luar
negeripun kami melakukannya secara
sembunyi-sembunyi. Dan untuk menutupi
hubungan gelapku dengan sopirku biasa
kami melakukannya ditempat-tempat
yang cukup jauh dari rumah maupun
tempat tempat famili biasanya kami
menyewa sebuah kamar hotel di pinggiran
jakarta ataupun tempat-tempat
peristirahatan dipinggir pantai.
ini kita….” ucapan sopirku tak diteruskan
hanya senyum-seyum saja sambil
meremas pahaku, saat aku baru saja
menjenguk kedua orang tuaku di Bogor.
“Ah kamu bisa aja cari waktunya!”
kataku sambil tersenyum malu sebagai
tanda setuju.
Seperti biasa kami mencari hotel
yang agak jauh dari kota Bogor, sopirku
memutuskan untuk mencari tempat
disekitar sukabumi dan 1 jam kemudian
setelah memilih-milih hotel mana yang
kelihatannya aman barulah aku memesan
kamar untuk satu hari. Dan untuk
mencegah kecurigaan para pegawai hotel
biasanya setelah memesan kamar aku
tidak langsung masuk kekamar bersama
Aris, sopirku itu. Hanya aku sendiri yang
masuk kedalam kamar itu.
Seorang room boy mengantarku
menaiki lantai 3 menuju ruang kamar
yang memang sengaja kupilih dilantai
yang paling atas dan memilih yang dapat
memandang pegunungan dari balik
jendela kaca kamar hotel tersebut.
“Ini kamarnya bu!” ucap room boy
tersebut sambil mempersilahkan aku
masuk kedalam.
“ini tempat tidurnya dan ini kamar
mandinya. Nah ibu bisa liat pegunungan
dari sini!” ucap room boy itu sambil
menunjuk kearah jendela yang masih
tertutup rapat.
“Nanti kalau ibu perlu sesuatu
cukup angkat gagang telpon ini dan
pencet nomor satu” ucapnya lagi dengan
ramah dan penuh senyum.
“Oh iya,,,, terima kasih, ini ….”
ucapku sambil memberikan persenan
sepuluh ribu rupiah.
“Oya…terima kasih bu…terima
kasih.” ucapnya lagi sambil menerima
persenan dariku dan kemudian
meninggalkan aku sambil menutup pintu
kamar.
Sambil mengulur waktu aku
langsung masuk kekamar mandi dan
membasuh tubuhku hingga bersih dan
setelah selesai mandi barulah aku
menghubungi sopirku lewat hpku. Sopirku
memang memiliki telepon genggam yang
pernah kubelikan sebagai hadiah tahunan
tanpa sepengetahuan suamiku.
“Hallo…Aris…, kamu kesini
sekarang ya…, saya ada dilantai 3 kamar
nomor 359 paling ujung setelah tangga.”
ucapku sambil mengeringkan tubuhku
dengan handuk.
“Iya mbak… saya segera kesana”
sahut sopirku sambil menutup gagang
telpon.
Hanya dalam hitungan menit
sopirku sudah berada didepan pintu.
Suara pintu terketuk beberapa kali dari
luar kamar hotel tersebut. Aku yang sudah
menunggunya langsung membuka pintu
kamar dan sopirku langsung menyelinap
masuk dengan menenteng tas hitam
ditangannya mirip seorang penyelundup
yang sedang diudak-udak pihak
kepolisian.
“Wah bagus juga pemandangan
diluar sana ya mbak Winie” ujarnya
sambil menaruh tas yang dibawanya
kebibir ranjang.
“Iya, saya memang memilih kamar
yang dapat melihat pemandangan
pengunungan, biar lebih enak
suasananya…” ucapku sambil menutup
pintunya kembali rapat – rapat dan
menguncinya kembali. “…udah gih sana…
mandi dulu!” kataku lagi sambil kembali
menuju tempat tidur yang luas dan empuk
itu.
Tanpa menunggu komando yang
kedua kalinya, sopirku langsung melepas
baju kemejanya, setelah itu dia melepas
sepatu dan kaos kakinya yang langsung
dilemparnya kebawah lemari pakaian
kemudian celana panjang biru tua dan
celana dalamnya langsung dipelorotkan
didepan mataku tanpa malu-malu hingga
terlihat jelas batang penisnya yang coklat
kehitaman itu menggelantung diantara
kedua kakinya mirip kelelawar yang
sedang beristirahat di sarangnya.
Sambil menunggu sopirku selesai
mandi kubuka lilitan handuk yang tadi
kupakai hingga tubuhku telanjang dan
hanya celana dalam putih dan tipis hingga
sedikit tembus pandang itu saja yang
melekat menutup segi tiga masku lalu
kunyalakan tombol tape didekat tempat
tidur yang terdapat pada dinding kamar
lalu kuambil stoking warna merah jambu
dari dalam tasku lalu sambil aku duduk
dibibir ranjang kumasukkan kaki kananku
kedalam kain tipis dan halus bercorak
jaring itu lalu disusul dengan kaki kiriku
hingga seluruh betis, paha, dan pinggulku
berbalut kain yang saking tipisnya hingga
warna kulitku yang putihpun terlihat
terawang. Sengaja kupakai karena aku
mengetahui sifat sopirku yang amat
menyukai dan terangsang sekali bila aku
mengenakan stoking ini. Lalu aku kembali
berbaring diatas ranjang tersebut,
menyelinap kedalam selimut hingga
menutup tubuhku sampai menutupi buah
dadaku yang sebesar sepertiga dari roti
Big Macnya Mcdonalds, memang buah
dadaku takterlalu besar ukurannya namun
itu yang membuat sopirku keranjingan.
Sesaat kemudian mulai terdengar suara
musik keluar dari speaker yang terletak
diatas langit-langit. Suara musik yang
sudah tak asing lagi bagiku seperti lagu
lamanya michael jakson, lalu george
michael, queen dengan lagunya we
are…we…are fuck you!..eh..fuck you apa
rock you yach…saya lupa. (sorry namanya
juga lagi ngarang, lupa boleh dong!)
“Wah dingin juga airnya” kata
sopirku dengan terbata-bata dengan
tubuhnya hanya dililit handuk sepinggang
ke bawah diikuti tubuhnya menggigil
kedinginan karena tak memakai air panas.
“Lagian pakai air dingin kan ada air
panasnya mas Aris…” celetukku sambil
menahan geli melihat tingkahnya yang
menggigil.
“Eng…enggak apa-apa….biar lebih
seger lagi..” ucapnya menimpali
ucapanku. Kemudian sopirku langsung
menjatuhkan tubuhnya disampingku.
“..iiiih…bau apa mulutmu!” ucapku
sambil nyengir, karena mencium aroma
yang tak begitu sedap keluar dari dalam
mulutnya hingga kedalam hidungku.
“…Eee…anu…tadi sewaktu nunggu
telpon dari mbak Winie, saya mampir
kewarung jamu dan minum jamu dulu!”
katanya dengan malu-malu serta senyum
yang ditahan-tahan.
“Jamu apa kok baunya kayak gini
sich!” tanyaku lagi yang masih meringis-
ringis.
“Jamu Kuku Bima TL!…, biar hot!”
ucapnya sambil cengengesan.
“Gosok gigi dulu ah….bau!” kataku
sedikit menggerutu.
“Iya deh…mbak” ucapnya sambil
bangkit lalu kembali kekamar mandi
sambil membawa sikat gigi dan odol dari
dalam tas yang tadi dibawanya.
“HHHHuu……, bagaimana mbak
WInie?” ucap sopirku setelah selasai sikat
gigi dan menirukan gaya iklan clouse up
yang ada di tivi.
“ZZZZmmmmm….” aku menarik
nafas pura-pura menangkap aroma
nafasnya yang segar itu. “…ah…kurang
terasa….mungkin kalau odolnya kamu
telan baru berasa deh Ris…!” kataku lagi
dengan nada bergurau yang kemudian
diiringi suara tawa kami berdua.
Kemudian sopirku melangkahkan kakinya
mendekatiku yang berbaring dengan
selimut.
“Ngapain sih pake ditutup-tutup
segala” Ucap sopirku sambil menyambar
ujung selimut yang menutup tubuhku lalu
menariknya kebelakang hingga tubuhku
terlihat jelas olehnya.
“Dingin tau!” balasku sambil
memandangi sopirku yang sudah mulai
nakal itu.
Setelah membuka selimutku lalu
tangannya melepas handuk yang
menyelimuti pinggangnya hingga dapat
kulihat dengan jelas penisnya yang
menggelantung itu mirip burung yang
sedang dalam sarangnya yang hitam. Lalu
tubuhnya direbahkan disisi tubuhku.
“Mbak Wid!” suara sopirku
menyebut nama kecilku seperti suamiku
biasa memanggilku dengan sebutan
..Wid.
“Apa..” sahudku pelan.
“Ngak sangka yach Mbak Wid,
sudah setahun lebih kita menjalin
hubungan ini!” kata sopirku sambil
membelai kepalaku.
“Memang kenapa mas,…” tanyaku
sambil tanganku membalas mengusap
dadanya yang bidang dan sedikit berbulu
itu.
“Apa mbak Winie enggak bosan
dengan gaya-gaya yang itu-itu aja!” tanya
sopirku kembali.
“Memang mas Aris punya ide
apa?” tanyaku dengan penuh perhatian.
“….EEE….ada sich, tapi kalau
Mbak Wid tidak keberatan!” ucapnya lagi,
sambil tangan kanannya dengan lembut
mengelus pinggul.
“Iya, apaan sih, kamu jangan bikin
saya penasaran dong!” ucapku dengan
sedikit manja.
“Gini…eee…..”
“PLAK……!!” suara tepukan.
“Aduh…kok mukul sich!” jeritku
mengaduh dan kaget ketika telapak
tangannya tiba-tiba memukul sedikit keras
pada pinggulku.
“Sorry….abis saya gemes banget
liat pinggul mbak Wid yang mulus ini”
ucapnya sambil nyengir. “….Sini
tangannya, biar saya iket dulu nanti baru
saya kasih tau!” ucapnya lagi sambil
bangkit lalu mengambil tali dari dalam
tasnya. Ketika dia membawa tali dan
menghampiriku lagi lalu kuberikan kedua
tanganku untuk diikatnya. Memang
semenjak pertama kali aku diperkosa oleh
sopirku pada hari-hari berikutnya dimana
sopirku sedang menginginkan tubuhku
maupun diriku sendiri disaat-saat
menginginkan kehangatan tubuhnya,
tangan dan kakiku selalu dalam keadaan
terikat bahkan terkadang aku sendiri yang
meminta untuk diikatnya. Karena itu saat
dia akan mengikatku aku malah dengan
senang hati memberikan kedua tanganku
kepadanya untuk diikatnya.
Setelah kedua pergelangan
tanganku terikat kuat lalu tanganku
ditambatkan di jeruji besi yang ada
dibagian kepala ranjang setelah itu kedua
pergelangan kakiku yang diikat namun
tidak seperti biasanya yang juga di
tambatkan pada bibir ranjang, dibiarkan
saja hingga kedua kakiku yang sudah
terikat itu masih dapat kugerakkan.
“PLAK!”………..
“Aduh….! sakit Ris….!” jeritku
ketika tiba-tiba saja telapak tangannya
menepuk pinggulku dengan keras.
“PLAK.!….PLAK!…..PLAK….!!!”
“Sakit Ris…..jangan sakit!” rintihku
mengeluh karena terasa perih diseputar
pinggul dan pantatku yang padat.
Sopirku malah tersenyum melihat
tubuhku yang menggeliat menahan sakit
dan perih karena tepukan telapak
tangannya yang keras itu, bahkan
tangannya terus saja menepuk-
nepukkannya berulang-ulang mirip
seorang anak kecil yang sedang dipukul
oleh orang tuanya karena nakal.
“Aris…Ampun…ampun….sakit…”
rintihku sambil memohon untuk tidak
memukulku, tapi sopirku tak
menghiraukan ucapanku hingga suara
jerit rintihku semakin keras.
“Saya suka sekali melihat mbak
Winie merintih seperti ini!” ucapnya
sambil memandang tubuh dan pinggulku
yang masih menggelinjang-gelinjang
menghindari dari tepukan-tepukan telapak
tangannya itu. “Ini baru permulaan dari
permainan baru kita sayang…!” ucapnya
pelan, sambil berucap demikian sopirku
mengambil sebuah kain yang lebarnya
sekitar 15 sentimeter dengan panjangnya
yang hampir satu meter dari dalam
tasnya.
“Ayo buka mulutnya sedikit!” ucap
sopirku, ketika dia mau menyumpal kain
itu pada mulutku.
“Tidak…Ris….tidak!” seruku sambil
menggeleng-gelengkan kepala supaya
sopirku takdapat menutup mulutku.
Tapi sopir tidak kehilangan akal
rupanya, dia langsung memencet
hidungku hingga aku tak dapat bernafas
melalui hidung, dan disaat aku menarik
nafas dengan membuka mulutku
langsung saja kain yang dipegangnya
dimasukkan kedalam mulutku lalu
diikatkannya kebelakang kepalaku kuat-
kuat.
“Nah sekarang mbak enggak
mungkin bisa teriak lagi, kan malu kalau
teriak teriak sampai kedengaran kamar
sebelah!” ucapnya dengan mata yang
berbinar-binar. “Nikmati saja permainan
baru ini ya Sayang……., saya akan
membawa mbak Winie kedalam
permainan yang paling dasyat sampai
mbak Winie histeris !” ucapnya dengan
antusias dekat telingaku.
“Emm….mmmmm!”
No comments:
Post a Comment