Dan kalau biasanya aku selalu berusaha membalas ledekan mereka, kini aku hanya bisa mengelak atau tersenyum malu, walaupun hatiku rasanya senang sekali. Untung saja bel tanda jam istirahat kedua berakhir ini sudah berbunyi.
“Liat deh… mukanya sampai merah gini”, kata Jenny yang tertawa geli.
“Duh… kasihan…”, ledek Sherly dan mereka berdua kembali tertawa geli.
“Kalian ini nggak usah pura pura kasihan deh. Dari pagi tadi kalian terus ngeledek aku, juga ngetawain aku. Kalian semua jahat!”, aku mengomel dan merengek, lalu aku pura pura merajuk.
“Iya iya… sekarang udah nggak kok. Cup cup… jangan nangis deh sayang… Kita balik ke kelas yuk”, ajak Jenny sambil menggandeng tanganku.
“Jen… aku aja yang nggandeng Eliza… istirahat pertama tadi kamu kan udah…”, kata Sherly dengan nada memohon.
“Hmmhh… Iya deh…”, kata Jenny sambil menghela nafas panjang dan menyerahkan tanganku yang ada dalam gandengan tangannya itu pada Sherly.
“Apaan sih kalian ini…”, aku tertawa geli, lucu juga rasanya memikirkan diriku menjadi rebutan Jenny dan Sherly seperti ini, tapi aku menurut saja ketika Sherly menggandeng tanganku.
Kami berbalik arah, dan mereka berdua menemaniku kembali ke kelas. Dan kedua kekasihku ini tak bosan bosannya menggoda dan meledekku tentang Andy. Aku lagi lagi tak bisa membalas, hanya tersenyum malu dan pasrah menerima semua ini. Aku hanya bisa berharap kami segera sampai ke kelasku. Tapi ketika kami sampai di depan pintu kelas, tiba tiba aku merasa ingin buang air kecil.
“Sher… kamu balik ke kelas aja dulu. Jen, aku mau ke toilet, nanti kalau ditanyain pak Totok tolong bilangin aku masih ke toilet dulu ya”, aku menitip pesan pada Jenny.
“Eliza… aku temanin kamu ya…”, Jenny merengek.
“Eh… nggak usah ah… sebentar aja kok”, kataku sambil tertawa geli.
“Ya udah deh, jangan lama lama ya sayang… Sher, aku masuk dulu, bye bye…”, kata Jenny yang lalu saling melambaikan tangan dengan Sherly, kemudian masuk ke dalam kelas.
Sherly sendiri terus menggandeng tanganku. Sebenarnya aku sedikit risih digandeng oleh Sherly dengan mesra seperti ini, tapi aku menurut saja sambil berharap dalam hati semoga tidak ada yang curiga melihat kemesraan Sherly padaku yang sedikit di luar batas ini.
Akhirnya kami sampai di depan pintu kelasnya Sherly, dan aku menunggu Sherly melepaskan gandengan pada tanganku.
“Udah dulu ya Sher, aku ke toilet dulu”, kataku sambil tersenyum pada Sherly.
“Eliza… aku temani kamu ya…”, bisik Sherly di telingaku.
“Ih kamu kok jadi seperti Jenny sih?… Nggak usah deh, aku kan cuma sebentar”, jawabku dengan berbisik pula, dan lagi lagi aku tertawa geli.
“Iya deh, sampai nanti ya Eliza”, kata Sherly dengan gaya kecewa, tapi ia melambaikan tangannya.
“Iya, sampai nanti”, aku menjawab sambil melambaikan tanganku juga, lalu aku segera menuju ke toilet.
Ketika aku akan masuk, aku berpapasan dengan Vera yang baru keluar dari toilet. Kami sempat saling sapa, dan diam diam aku merasa heran, mengapa tadi Vera tersenyum aneh seperti itu ketika ia melihatku.
Entahlah, lalu aku terus masuk ke dalam toilet perempuan ini, dan dengan sembarangan aku memilih salah satu dari enam kamar kecil yang ada di dalam sini. Setelah aku selesai buang air kecil dan merapikan baju serta rok seragamku, aku segera keluar untuk kembali ke kelasku.
“Emmphh…”, aku menjerit tertahan ketika tiba tiba ada sebuah tangan yang membekap mulutku.
Belum sempat aku bereaksi, sebuah tangan yang lain melingkar di depan dadaku dan menarikku ke belakang, dalam dekapan pemilik kedua tangan ini.
Aku meronta dengan perasaan ngeri, tapi dekapan ini terlalu kuat, hingga tanpa perlawanan yang berarti, aku sudah terseret masuk ke dalam gudang yang ada di sebelah toilet, tempat dimana Vera entah diperkosa atau memang sedang melayani Dedi dan Pandu dua hari yang lalu.
Penculikku ini terus menyeretku ke ujung ruang ini, hingga kami ada di balik tumpukan meja dan kursi tua. Tanpa melepas bekapan tangannya pada mulutku, ia menekan pundakku hingga aku berjongkok, dan sesaat kemudian penculikku ini duduk di samping kananku, lalu ia memangku tubuhku di atas pahanya.
“Eliza… kamu jangan ribut! Sebentar lagi ada tontonan yang menarik”, bisik penculik ini di telinga kiriku.
Suara ini membuatku bergidik karena aku tahu ini suara Dedi. Aku terdiam sesaat, lalu aku mengangguk pelan. Lebih baik aku menurutinya, karena kalau aku menimbulkan keributan, lalu banyak yang tahu aku di dalam gudang ini sedang berduaan dengan Dedi, apapun alasannya namaku pasti akan hancur.
Bekapan pada mulutku dilepas, dan aku diam saja tanpa berusaha melihat ke arah Dedi. Di gudang ini entah akan ada tontonan apa, tapi setelah tontonan itu berakhir, aku kuatir Dedi tak akan membiarkanku pergi begitu saja sebelum memaksa aku melayani nafsu birahinya di dalam gudang ini.
Aku sedang tidak mood untuk ngeseks sekarang ini. Diam diam aku berpikir bagaimana supaya hari ini aku tidak harus merelakan liang vaginaku ditembusi batang penis lelaki bejat ini. Mungkin aku bisa mencoba menawarkan servis oral saja dengan alasan aku tak ingin ketahuan orang lain karena aku merintih, atau aku takut ditanyai guru di kelasku karena aku terlalu lama berada di toilet.
Dengan begitu semoga si kurang ajar ini menerima alasanku dan tidak memaksaku untuk ngeseks dengannya. Selagi aku memikirkan apakah ada alasan yang lebih bagus, tiba tiba kurasakan Dedi menggamit lenganku, dan aku mengarahkan pandangan mataku ke arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Dedi.
Aku tertegun melihat masuknya seorang cebol yang langsung kukenali sebagai pelayan salah satu stan di kantin sekolah. Aku tak tahu nama si cebol ini, tapi aku tahu pemilik stan tempat si cebol ini bekerja adalah Cie Fifi, seorang wanita yang menurutku berwajah cantik, usianya sekitar 25 tahun.
Kedatangan si cebol ini membuatku sedikit takut. Aku tahu diam diam si cebol ini suka menatap tajam ke arah Jenny, Sherly, aku, dan juga siswi lain yang sedang makan di kantin. Entah apa yang diinginkan Dedi dengan menyeretku ke gudang ini selagi ia tahu si cebol ini akan masuk ke dalam sini.
Si cebol duduk dengan seenaknya di kursi yang ada di tengah ruangan ini. Aku tak mengerti apa yang sedang dilakukannya, apakah menunggu seseorang, atau ia merencanakan sesuatu yang lain.
Tiba tiba pintu gudang ini terbuka lagi, dan aku tertegun melihat kedatangan Cie Fifi yang masuk dengan raut wajah kesal. Tapi anehnya Cie Fifi malah menghampiri si cebol yang sedang tersenyum senyum menjijikkan.
“Halo Fifi sayang”, sapa si cebol, sementara Cie Fifi hanya diam tak menjawab.
Sesaat kemudian si cebol berdiri, dan berikutnya jantungku berdebar kencang melihat sebuah pemandangan erotis yang mengejutkan tersaji di hadapanku.
Si cebol menyusup masuk ke dalam rok Cie Fifi yang hanya diam saja. Kepala si cebol yang kini ada di dalam rok Cie Fifi, tepat di depan pangkal paha Cie Fifi membuat bagian depan rok itu menyembul.
“Sshh…”, Cie Fifi mendesah sambil memejamkan mata dan menggigit bibirnya sendiri.
Aku terus memperhatikan bagian yang menyembul dari rok Cie Fifi yang pastinya adalah kepala si cebol itu bergerak gerak, membuat gairahku perlahan bangkit, dan aku harus berusaha mengatur nafasku yang mulai memburu.
“Kenapa cantik? Kamu kepingin digituin seperti Cik Fifi? Kok kamu juga ikut ikut gigit bibir?”, tiba tiba kudengar bisikan Dedi.
Wajahku terasa panas, aku baru sadar kalau ternyata aku juga menggigit bibirku sendiri. Aku menatap Dedi dengan marah. Tapi tentu saja aku tak bisa berbuat macam macam daripada nasibku malah jadi semakin buruk. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau aku membuat keributan yang mengakibatkan si cebol ini tahu aku ada di sini.
Dedi hanya tersenyum senyum, sama menjijikkannya dengan senyuman si cebol tadi. Dan aku tak bisa berbuat banyak ketika Dedi yang memangku tubuhku ini memelukku dari belakang dan mulai menggodaku.
Dengan kedua tangannya yang melingkari tubuhku dari belakang ini, Dedi mulai meremasi kedua payudaraku, kadang lembut, kadang kasar, yang pasti ulah Dedi ini membuatku gelisah dan jantungku berdegup semakin kencang.
Aku tak berani menepis karena aku takut tepisanku mungkin akan menimbulkan suara yang bisa saja terdengar oleh si cebol itu ataupun Cie Fifi. Aku hanya bisa berusaha memegang kedua pergelangan tangan Dedi yang jauh lebih besar dari kedua pergelangan tanganku ini, dan aku mencoba menarik tangan Dedi ke bawah untuk membebaskan kedua payudaraku dari remasan remasan kurang ajar ini.
Tapi tangan Dedi terlalu kuat bagiku untuk kusingkirkan begitu saja. Aku menggeliat lemah, konsentrasiku untuk melihat adegan erotis di hadapanku ini mulai buyar karena aku sendiri sudah mulai terangsang akibat ulah Dedi yang terus meremas kedua payudaraku.
“Ded… hentikan…”, bisikku dengan ketus.
“Ssst!”, Dedi menyuruhku diam, tapi kurang ajarnya kedua tangan Dedi itu melekat erat dan terus meremasi kedua payudaraku.
Sadar akan kemungkinan Cie Fifi mendengar suaraku tadi, aku melihat ke arah Cie Fifi. Ternyata ia sedang memejamkan mata dan mendesah tak karuan sambil memegangi sembulan pada bagian depan rok yang dikenakannya, yang pasti adalah kepala si cebol.
Walaupun jantungku berdegup kencang melihat itu semua, rasa sakit pada kedua payudaraku membuatku kembali menggeliat, mencoba menghindarkan payudaraku dari remasan remasan nakal ini. Tapi kemanapun aku bergerak, telapak tangan Dedi tetap melekat erat dan terus memberikan remasan pada kedua payudaraku.
Pikiranku mulai kacau dan nafasku mulai terasa sesak. Perlahan tapi pasti, aku mulai tersiksa akibat rasa panas yang mulai menjalari tubuhku ini.
Akhirnya aku memilih berhenti menggerak gerakkan tubuhku, tapi aku mencoba memegang dan menarik kedua telapak tangan Dedi yang sibuk memainkan kedua payudaraku ini. Aku sadar tenagaku tak akan ada artinya bagi Dedi, tapi aku tak mau menyerah begitu saja.
“Mhhh…”, aku mendengar rintihan Cie Fifi.
Perhatianku kembali tertuju pada adegan erotis di depanku. Entah sejak kapan, aku melihat sehelai celana dalam yang tergeletak di dekat kaki Cie Fifi.
Itu pasti celana dalam Cie Fifi yang ditarik lepas oleh si cebol. Dan Cie Fifi yang kini sedikit membungkuk, mendesah dan merintih dengan wajah seperti menahan sakit selagi si cebol sibuk di dalam rok Cie Fifi.
Aku memejamkan mataku, membayangkan di dalam rok Cie Fifi itu tidak ada helai celana dalam yang melindungi vagina Cie Fifi. Dan kini si cebol itu entah sedang menjilati bibir vagina Cie Fifi, mencucup dan memagut bibir vagina Cie Fifi, atau sedang menggoda dan mengaduk liang vagina Cie Fifi dengan lidahnya, atau dengan jarinya.
Rasa panas yang menjalari tubuhku ini semakin menjadi jadi. Aku sudah sangat terangsang, entah karena remasan nakal yang dilakukan Dedi pada kedua payudaraku, atau karena pikiranku yang melayang membayangkan apa yang terjadi di dalam rok Cie Fifi itu.
Dan tubuhku menggigil ketika aku nyaris tak bisa menahan diriku untuk merintih karena Dedi mencium tengkuk leherku, dan keadaan menjadi semakin sulit bagiku ketika aku merasakan jilatan Dedi di tengkuk leherku ini.
No comments:
Post a Comment