Aku menikah dengan pria pilihanku sendiri. Walaupun dia bukanlah pria yang paling kucintai, karena waktu itu, sebenarnya aku sedang menunggu seorang pria lain, yang tak kunjung memberikan kepastian. Akhirnya pria yang kunikahi, adalah pria pertama yang bersedia memberikan komitmen.
Cinta tumbuh bersamaan dengan berjalannya perkawinan kami. Dua tahun menikah, kami dikarunia anak pertama. Karena tugas belajar ke luar negeri, akhirnya aku tinggalkan suami dan anakku untuk beberapa waktu. Tapi perkawinan kami tetap bahagia, selama berjauhan, tidak terbersit sedikitpun pikiran untuk berselingkuh, walaupun godaan seksual sangat kuat. Sepulang tugas belajar, kami dikaruniai anak kedua. Semua berjalan lancar, sampai kemudian pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam hatiku, semakin membuahkan tanda tanya yang cukup besar dalam benakku.
Sepuluh tahun perkawinan, tak pernah sekalipun aku merasakan orgasme dari suamiku. Hubungan seksual kami selalu berlangsung sangat singkat, sehingga tidak pernah ada kesempatan bagiku untuk bisa mencapai puncaknya. Diam-diam aku bermasturbasi untuk menuntaskan kebutuhanku seorang diri.
Lalu aku mencari informasi, aku baca buku-buku, aku cari artikel-artikel. Baru aku sadari bahwa ternyata suamiku penderita ejakulasi dini. Permasalahan sudah kutemukan, tapi bagaimana aku harus memberitahu dia ? Bagaimana aku harus mengajaknya mencari solusi ? Sedang dia sendiri pun sepertinya tidak menyadari permasalahan ini, karena aku tidak pernah mengeluh.
Suamiku adalah tipe pria yang bertanggungjawab, dia ayah yang baik bagi anak-anaknya. Tapi dia tidak pernah menjadi kekasih yang hangat untuk istrinya, walaupun segala kebutuhanku secara materi sangat tercukupi, apalagi karena aku sendiri juga bekerja. Dia hanya mencumbuku menjelang persetubuhan yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Di luar itu, jarang sekali dia menyentuhku, walaupun hanya pelukan, elusan, apalagi ciuman. Hal-hal ini akan dia lakukan, hanya kalau aku memintanya.
Aku, perempuan 34 tahun, dengan status menikah, tetapi selalu merasa kesepian karena terbenturnya hasrat yang tak ada jalan keluarnya. Akhirnya kuputuskan untuk menemui seorang psikiater.
Kuceritakan semua pertanyaanku dan keluh kesahku kepada Pras, sang psikiater. Dia mendengarkan dengan seksama, memberiku masukan dan nasehat.
"Saya bahkan tidak tahu apakah saya bisa mencapai orgasme pada saat berhubungan seks. Jangan-jangan saya ini tipe frigid", demikian ceritaku pada Pras dalam suatu sessi.
"Dari bermasturbasi kamu bisa mengalami orgasme kan ?", kata Pras, yang mulai akrab karena konsultasi sudah berjalan selama beberapa bulan.
"Dokter bilang masturbasi ok, asal tidak berlebihan. Dalam kasus saya, saya hanya bisa mencapai orgasme dari masturbasi yang saya lakukan sendiri. Apakah ini bukan kebiasaan yang kurang baik ?", tanyaku.
"Memang agak sulit kalau di pihak yang lain tidak menyadari persoalannya. Suamimu mungkin berpikir selama ini oke-oke saja".
"Barangkali harusnya saya berterus terang, tapi saya takut malah akan membuatnya tidak percaya diri, kalau dia tahu bahwa dia itu ejakulasi dini".
"Saya bisa memberimu kesempatan merasakan orgasme, kalau kamu mau", begitu kata Pras tiba-tiba. Sebuah statement yang entah datang darimana, tetapi sempat membuatku seperti disambar petir. Nggak salah nih psikiaterku memberikan pernyataan seperti itu ? Rupanya Pras menyadari kekagetanku, segera dia melanjutkan perkataannya.
“Tapi tidak di sini. Temui aku besok sore di Cafe O ya. Jam 5 bagaimana ?”, tanya Pras.
Aku tidak bisa menjawab. Dengan gugup kuraih tasku, dan meninggalkan ruang konsultasi psikiater Pras tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Besoknya di kantor, aku tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan. Pras, psikiaterku, apakah dia sudah gila. Tak dapat kusangkal, bahwa Pras memang seorang pria menarik. Usianya 2 tahun di atasku. Dia cerdas, wawasannya luas, dan pandai menjadi pendengar yang baik (tentu saja, dia dibayar untuk itu). Walaupun wajahnya tidak ganteng, tapi secara keseluruhan dia adalah pria yang sangat menarik.
Dan aku sendiri ? Apakah aku juga sudah gila, kalau sampai mau datang menemui Pras, di sebuah Cafe, bukan di tempat seharusnya aku menemui dia, di ruang prakteknya ? Selama ini tidak pernah terpikir dalam benakku untuk melakukan hubungan intim dengan pria lain, bahkan pada masa gadispun, aku tetap menjaga kesucianku sampai tiba perkawinanku. Kenapa sekarang tawaran seorang pria untuk mengajakku merasakan orgasme, benar-benar telah menyita pikiranku, membuatku tidak bisa memikirkan hal lain ?.
Waktu terasa berjalan amat sangat lambat. Jam 4.30, aku bilang ke sekretarisku untuk keluar duluan, karena harus menemani rekanan makan malam.
Cafe O tidak jauh dari kantorku. Jam 5 kurang 10 aku sudah sampai di sana. Tidak ada Pras, aku agak kecewa, berarti aku datang duluan. Atau jangan-jangan Pras tidak akan datang ?
Kupesan secangkir coklat dingin, untuk meredakan keteganganku. Jam sudah menunjukkan pukul 5 lebih 5 menit. Pras tak kunjung muncul batang hidungnya. Aku mulai gelisah. Apakah Pras hanya main-main ? Bisa saja. Sangat mungkin. Mana mau seorang psikiater berkencan dengan pasiennya.
Tapi tiba-tiba, sosok Pras muncul di pintu Cafe, langsung menuju ke mejaku. Aku gugup tak bisa berkata apa-apa. Pras tersenyum dan menyalami tanganku.
“Maaf terlambat”, katanya. Lalu dia memesan minuman yang sama dengan yang sudah setengah cangkir kuhabiskan.
“Saya akan mengajakmu ke suatu tempat. Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa saya melakukan ini”, kata Pras, sambil meremas-remas tangannya sendiri. Rupanya dia gugup juga. Aku hanya mengangguk, tak berani melihat ke wajahnya.
“Kamu pasien istimewa saya. Saya ingin menunjukkan sesuatu yang saya nggak bisa gambarkan ke kamu”, kata Pras.
Kami meninggalkan Cafe O lima belas menit kemudian, dengan mobil Pras. Kami menuju kawasan utara yang dingin, menuju sebuah villa. Tidak ada percakapan selama dalam perjalanan, karena kami sama-sama gugup. This is gonna be my first time.
Villa itu tidak besar, hanya ada 1 kamar, tetapi bersih dan rapih. Letaknya juga terpencil dan terlindung oleh pohon-pohon rindang yang banyak tumbuh di halaman villa.
Pras, mendekatiku. Dielusnya rambutku. Kali ini kuberanikan diri memandang wajahnya. Lalu Pras mencium bibirku. Aku hampir terjatuh, tapi tangannya kuat menopang tubuhku. Kurasakan desiran hangat merayapi tubuhku. Bertahun-tahun aku tidak pernah merasakan hal ini. Kami berciuman lama dan penuh nafsu. Lidah kami berpagut, saling menjelajahi setiap bagian mulutnya dan mulutku.
“Pelan-pelan, sayang”, kata Pras sambil merebahkan tubuhku ke kasur. Sekarang dia menindihku. Sambil terus memagut bibirku. Kami berciuman lebih lama lagi.
Tangan Pras mengelus lenganku, lalu ke bagian samping tubuhku. Aku sendiri mulai memeluknya dan merabai punggungnya. Pras mulai membuka satu persatu kancing blouseku. Dikecupnya bagian atas buah dadaku.
“Kamu suka diapakan ?” tanya Pras.
“Aku suka dikulum, dijilat, digigit”
Lalu Pras mengeluarkan buah dada kananku dari bra-ku yang ¾. Diciumnya putingku, dijilatinya, lalu dikulumnya. Tangan kanannya mempermainkan puting kiriku. Kedua putingku ereksi. Aku mengerang.
“Aku suka kamu mengerang”, bisik Pras.
“Hmmmm”.
Sekarang Pras berpindah mengulum puting kiriku, sementara tangannya meremas-remas payudaraku. Eranganku makin tak kuasa kutahan. Tangannya lincah menggerayangi bagian tubuhku yang lain. Aku pun mulai membukai satu persatu kancing kemejanya. Aku permainkan puting susunya dengan tanganku.
Ciuman Pras bergerak menyusuri belahan dadaku, ke bawah, melewati pusarku, lalu sibuk membasahi daerah pubis yang selalu kucukur rapih dengan lidahnya. Aku tersentak ketika lidah Pras mengenai ujung klitorisku.
“Oh, Pras, aku nggak pernah ngerasain ini”.
“Suuttt, nikmati saja ya”, kata Pras sambil terus melanjutkan menjilati klitorisku. Aku nggak tahu sudah seberapa basah aku di bawah sana. Pras memasukkan jarinya ke dalam vaginaku, sambil terus menjilati klitorisku. Lalu turun lagi, dia buka vaginaku dengan jarinya, lalu disusupkannya lidahnya ke dalam vaginaku. Lidahnya memburu, mencari titik-titik sensitif yang tak pernah tersentuh. Aku menggelinjang. Pras makin rakus menjilati vagina dan mempermainkan klitorisku dengan jarinya. Beberapa saat kemudian, tubuhku menegang dan aku berteriak mencapai salah satu bentuk orgasme dahsyat yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Pras tersenyum puas. "Aku sangat suka, mendengar teriakanmu", katanya. Aku tertawa. Diciumnya kembali bibirku.
“Sekarang gantian kamu ya”, bisikku nakal. Sambil aku bangkit untuk menindih tubuh Pras. Ganti aku menciumi dan menjilati seluruh tubuh Pras. Puting susunya ereksi ketika kujilati, dada Pras tidak berambut. Jilatanku terus menyusuri tubuhnya ke arah bawah, sampai lidahku bertemu dengan ujung penisnya yang tegak berdiri dengan kerasnya. Penis Pras tidak sebesar penis suamiku, tapi coba lihat saja nanti bagaimana dia bisa beraksi.
Aku tunda mengulum penisnya. Tapi kujelajahi dulu daerah di sekitarnya dengan bibir dan lidahku. Pras mendesah.
“Enak, sayang”.
Aku makin aktif menyusuri pahanya bagian dalam, lalu ke atas lagi, kujilati bagian bawah testisnya. Pras menggelinjang. “Enak sekali sayang”.
“Kamu tahu ini namanya apa ?”, tanyaku.
“Scrotum ?”,
“Bukan, sayang. Daerah di bawah scrotum ini namanya Nifkin”, jawabku, sambil terus menjilati daerah nifkin Pras.
“Bagus sekali namanya dan enak sekali rasanya dijilat begitu.. oh...”, kata Pras.
Kutelusuri sepanjang penis Pras dengan lidahku, dari arah scrotum menuju ke ujung penis yang disunat. Baru sekarang dia boleh merasakan kuluman bibirku di kepala penisnya. Pras mengerang. Seluruh penisnya sekarang memenuhi mulutku. Lidahku berputar-putar mengelilingi batang penisnya, sambil pagutan bibirku melakukan gerakan naik turun sepanjang penis Pras. Kadang-kadang kuberi dia gigitan kecil.
“Oh enak sekali sayang, aku nggak tahan, oh... ", kata Pras. Aku tetap melanjutkan memberinya blow job. Tubuh Pras menghentak-hentak, menahan ejakulasi.
"Jangan buat aku ejakulasi dulu, sebelum aku kasih kamu orgasme vaginal”, kata Pras sambil mengangkat wajahku. Sebuah isyarat untukku berpindah posisi. Pras menyuruhku telentang, dia angkat kakiku ke atas bahunya. Pelan-pelan dimasukkannya penisnya yang sudah sangat tegang ke liang vaginaku yang masih basah. Dia lakukan gerakan pelan-pelan. Aku menggoyangkan pinggulku.
“Jangan bergoyang sayang, nanti aku cepat sampai. This is for you, kamu diam, nikmati saja”, bisik Pras. Aku merasakan sensasi yang luar biasa dari gerakan penis Pras di dalam vaginaku. Aku mulai berhitung, satu detik, dua detik, lima detik, sepuluh detik, sudah lewat batas yang biasa kuterima. Pras masih terus memompa penisnya di vaginaku. Satu menit, lima menit, tujuh menit. Gerakan Pras makin intens. Baru kali ini ada penis bertahan lebih dari sepuluh detik di dalam vaginaku.
Pada menit ke delapan, orgasme vaginal pertamaku datang. Tubuhku melenting, nafasku terengah-engah, aku berteriak. Pras memelukku.
“Kamu tidak frigid sayang. Bagaimana rasanya orgasme vaginal ?” Bisik Pras. Aku tertawa. Kukecup bibir Pras.
“Makasih ya. Rasanya luar biasa. Tak bisa kugambarkan, seperti kamu tak bisa menggambarkannya untukku. Tapi kayaknya aku masih ingin lagi, Pras”.
“Gantian aku yang di bawah ya, sayang”. Pras merebahkan tubuhnya. Aku menungganginya.
“Ajari aku ya, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya”, kataku.
“Santai saja, masukkan penisku ke vaginamu, lalu kamu bebas bergerak apa saja. You are in control now, aku ikutin saja gerakanmu”, kata Pras.
Lalu kami memulai lagi mendaki puncak asmara. Kugerakkan panggulku maju mundur. Pras mengulum buah dadaku yang menempel ke bibirnya. Lalu kutegakkan badanku di atas tubuh Pras, kubuat gerakan naik turun, depan belakang. Dalam posisi begini, terasa sekali penis Pras menggesek-gesek bagian sangat peka di dalam vaginaku. Rupanya Pras merasakan sensasi yang sama. Penisnya kadang terjepit, kadang terlepas di rongga tulang selangkanganku, mengikuti irama gerakan panggulku. Bibir vaginaku kadang kukontraksikan, untuk menambah rangsangan jepitan lembut di penisnya. Pras gelagapan menggapai napasnya. Diremas-remasnya buah dadaku yang terayun-ayun akibat gerakan tubuhku. Makin lama, aku makin mempercepat gerakan.
"Aku hampir sampai, Pras", kataku.
"Ayo sama-sama, ya.", kata Pras.
Dia remas buah dadaku. Tubuh kami mengejan bersama-sama, mencapai puncak kepuasan yang tiada tara.
Kurebahkan tubuhku di atas tubuh Pras, sama-sama kembali menormalkan napas dan aliran darah. Kupeluk tubuh Pras, seolah tak mau melepaskannya.
Kemudian kami berciuman. Lamaaaaaaaa..............
No comments:
Post a Comment