Jadilah Lelaki Perkasa, Seperkasa Kuda Putih

Monday, November 29, 2010

Janda Jakarta

Pulang kantor
jalanan masih agak macet.
Kantorku berada di daerah
Harmoni. Pada jam-jam sibuk
tentu saja macet total. Langit
agak mendung, tapi dugaanku
sore sampai malam ini tidak akan
turun hujan. Dengan langkah
sedang aku keluar kantor dan
berjalan ke arah Juanda, rencana
naik bis dari sana saja. Maklum
karyawan baru, jadi masih naik
Mercy dengan kapasitas besar.
Sampai di Juanda aku cari bis
kota tujuan ke Senen. Sebentar
kemudian datang bis kota yang
sudah miring ke kiri. Aku naik
dan menyelinap ke dalam. Aroma
di dalam bis sungguh rruarr
biasa. Segala macam aroma ada
di sana. Mulai dari parfum
campur keringat sampai bau
asap dan lain-lainnya.
Tak lama aku sampai di Senen.
Turun di Pasar Senen dan masuk
ke dalamnya. Ada beberapa
barang yang harus kucari. Putar
sana putar sini nggak ketemu
juga yang kucari. Malahan
digodain sama kapster-kapster
di salon lantai 2. Dengan kata-
kata yang menjurus mereka
merayuku untuk masuk ke
salonnya. Kubalas saja godaan
mereka, toh aku juga lagi nggak
ada keperluan ke salon. Sekedar
membalas dan menyenangkan
mereka yang merayu untuk
sekedar gunting, facial atau
creambath.
Akhirnya kuputuskan untuk cari
di Atrium saja. Aku nyeberang di
dekat jembatan layang. Memang
budaya tertib sangat kurang di
negara ini. Senangnya potong
kompas dengan mengambil
resiko.
Baru saja kakiku melangkah
masuk ke dalam Atrium, mataku
tertuju pada seorang wanita
setengah baya, kutaksir
umurnya tiga puluh lima tahun.
Ia mengenakan blazer hijau
dengan blouse hitam.
Pandangannya kesana kemari
dan gelisah seolah-olah
menunggu seseorang. Aku lewat
saja di depannya tanpa ada
suatu kesan khusus. Sampai di
depannya dia menyapaku.
“Maaf Mas mengganggu
sebentar. Jam berapa sekarang?”
tanyanya halus. Dari logatnya
kutebak dia orang Jawa Tengah,
sekitar Solo.
“ Aduh, sorry juga Mbak, saya
juga tidak pakai jam,” sambil
kulihatkan pergelangan
tanganku.”Mbak mau kemana,
kok kelihatannya gelisah?”
tanyaku lagi.
“ Lagi tunggu teman, janjian jam
setengah lima kok sampai
sekarang belum muncul juga”
jawabnya.
“ Ooo..” komentarku sekedar
menunjukkan sedikit perhatian.
“ Mas mau kemana, baru pulang
kantor nih?” dia balik bertanya.
“Iya, mau beli sesuatu, tadi cari
di Proyek nggak ada, kali-kali aja
ada di Atrium”.
Akhirnya meluncurlah dari mulut
kami beberapa pertanyaan basa-
basi standar.
“Oh ya dari tadi kita bicara tapi
belum tahu namanya, saya
Vera,” katanya sambil
mengulurkan tangan.
“ Anto,” sahutku pendek, “OK
Vera, saya mau jalan dulu cari
barang yang saya perlukan”.
“Silakan, saya masih tunggu
teman di sini, barangkali dia
terjebak macet atau ada
halangan lainnya”.
Kami berpisah, saya masuk ke
dalam dan langsung ke Gunung
Agung. Kulihat Vera masih
menunggu di pintu Atrium.
Setengah jam keliling Gunung
Agung ternyata tidak ada barang
yang kucari. Kuputuskan pulang
saja, besok coba cari di Gramedia
atau Maruzen. Aku keluar dari
pintu yang sama waktu masuk,
arah ke Proyek. Kulihat Vera
masih juga berdiri di sana.
Kuhampiri dia dan kutanya.
“Masih ada disini, belum
pulang?”.
“Ini mau pulang, besok aja
kutelpon dia ke kantor,”
jawabnya.
Waktu itu, 1994, HP masih
menjadi barang mewah yang
tidak setiap orang dapat
memilikinya.
“Mbak naik apa?”
“Oh, saya bawa mobil sendiri,
meskipun butut”.
“OK, kalau begitu saya pulang,
saya naik Mercy besar ke
Kampung Melayu”.
Dia kelihatan agak berpikir. Baru
pada saat ini aku mengamati dia
dengan lebih teliti. Tingginya
kutaksir 158 cm, kulitnya kuning
kecoklatan, khas wanita Jawa
dengan perawakan seimbang.
Rambutnya berombak sebahu,
matanya agak lebar dan
dadanya standar, 34.
“Kenapa, something wrong?”
kataku.
“ Nggak, nggak aku juga mau
jalan lagi suntuk. Rumah saya di
Cinere, jam segini juga lagi full
macet” sambil memandangku
dengan tatapan yang sulit
kutafsirkan.
“ Boleh saya temani,” sahutku
asal saja. Jujur aku hanya asal
berkata saja tanpa mengharap
apapun. Dia menatapku sejenak
dan akhirnya..
“ Boleh saja, kalau nggak
mengganggu” jawabnya.
Kami menuju basement tempat
parkir mobilnya. Dia memberikan
kunci mobilnya padaku.
“Bisa bawa mobil kan?”
tanyanya.
Aku terkejut, karena aku
memang bisa nyetir mobil tapi
masih belum lancar sekali dan
tidak punyai SIM.
“Aduh, so.. Sorry, jangan aku
yang bawa. Aku nggak punya
SIM,” kataku mengelak.
“Baiklah kalau begitu, biar aku
sendiri yang bawa,” katanya
sambil tersenyum.
Vera naik mobil dan
membukakan pintu sebelah kiri
depan dari dalam. Mobilnya
Suzuki Carry warna merah
maron. Kulihat di atas jok tengah
berserakan map dan kertas.
“Kemana kita?” katanya.
“Terserah ibu sopir saja, asal
jangan ke Bogor, jauh” sahutku
bercanda.
“ Kita ke Monas saja deh” katanya
sambil terus tetap menyetir.
Karena dia mengenakan rok
span selutut, jadinya waktu
duduk menyetir agak ketarik ke
atas, pahanya terlihat sedikit.
Aku menelan ludah.
Monas terlihat sepi sore ini, jam
di dashboard menunjukkan
17.55. Hanya ada beberapa
mobil yang parkir di pelataran
parkir. Vera memarkir mobilnya
agak jauh dari mobil lainnya. Ia
mematikan kontak dan
membuka jendela. Kami tetap
duduk di dalam mobil.
“Uffh, hari yang melelahkan”.
Vera menyandarkan tubuh dan
kepalanya pada jok mobil.
Blazernya tidak dikancingkan
sehingga dadanya kelihatan
menonjol.
“Ngomong-ngomong Mas Anto
ini kerja di mana?”
“Karyawan swasta, kantornya di
Harmoni, Mbak Vera sendiri di
mana?” balasku.
“Saya agen sebuah Asuransi
BUMN, rencananya tadi dengan
teman saya, Dewi, akan prospek
di sebuah kantor di Kramat,
makanya janjian di Atrium. Eh,
dianya nggak datang. Eh,
bagaimana kalau kita masing-
masing panggil dengan nama
saja tanpa sebutan basa-basi
supaya lebih akrab. Toh umur
kita nggak jauh berbeda. Aku
tiga puluh lima, kutaksir kamu
paling-paling tiga puluh”.
Ternyata taksiranku tepat,
taksirannya meleset. Waktu itu
umurku sendiri baru dua puluh
lima. Mungkin karena warna
kulitku agak gelap dan berkumis
maka wajahku kelihatan lebih
tua. Tapi menurut teman-
temanku baik perempuan
ataupun laki-laki, dengan wajah
cukup ganteng, tinggi 170 cm,
perawakan tegap, berkumis dan
dada berbulu aku termasuk
idaman wanita.
Vera ternyata seorang janda
dengan satu anak. Ketika
kutanya kenapa dia bercerai, air
mukanya berubah dan ia
menghela napas panjang.
“Sudahlah, itu kenangan buruk
dari masa laluku, tak usah
dibicarakan lagi” katanya.
“Baiklah, maaf kalau sudah
menyinggung perasaanmu,”
kataku.
Senja semakin merambat, lampu
jalan sudah mulai dinyalakan
mengalahkan temaram senja. Di
bawah lampu merkuri wajah
Vera terlihat pucat. Tiba-tiba saja
kami bertatapan. Vera terlihat
sangat lelah, tapi bibirnya
dipaksakan tersenyum. Entah
bagaimana mulanya tiba-tiba
saja tangan kananku sudah
kulingkarkan di lehernya dan
kurengkuh ia ke dalam
pelukanku. Kucium bibir tipisnya
dan ia membalasnya dengan
melumat bibirku lembut. Kami
saling memandang dan
tersenyum.
“Anto, maukah kamu
menemaniku ngobrol?”
“Lho, bukankah sekarang ini kita
lagi ngobrol”.
“Maksudku, kita cari.. Nggh..
Tempat yang tenang”.
Kucium bibirnya lagi dan ia
membalas lebih panas dari
ciuman yang pertama tadi.
Tanpa kujawab mestinya ia
sudah tahu.
“Ayo kita berangkat,” ajaknya
sambil menghidupkan mesin
mobil.
“ Baiklah kita ke arah Tanah
Abang saja yuk,” jawabku.
Dari Monas kami menuju ke
Tanah Abang. Kami sempat
terjebak kemacetan di sekitar
Stasiun Tanah Abang. Akhirnya
kuarahkan dia ke Petamburan.
Kulihat dia ragu-ragu untuk
masuk ke halaman sebuah hotel.
“Ayolah masuk saja, nggak apa-
apa kok. Hotelnya cukup bersih
dan murah” kataku
meyakinkannya.
“ Bukan apa-apa. Aku hanya tidak
ingin mobilku terlihat secara
mencolok di halaman hotel”
sahutnya. Akhirnya kami
mendapatkan tempat parkir
yang cukup terlindung dari jalan
umum.
Setelah membereskan urusan di
front office, kami masuk ke
dalam kamar. Kuamati sejenak
keadaan di dalam kamar. Di
dinding sejajar dengan arah
ranjang dipasang cermin selebar
80 cm memanjang sepanjang
dinding. Aku tersenyum dan
membatin rupanya hotel ini
memang dipersiapkan khusus
untuk pasangan yang mau
kencan.
“Kamu sering masuk ke sini, To?
Kelihatannya sudah familiar
sekali” tanyanya.
“Nggak juga. Namanya nginap di
hotel kan tahapannya standar
aja. Lapor ke front office,
serahkan ID, bayar bill untuk
semalam lalu ambil kunci kamar.
Beres kan?”
“Kalau lagi prospek, bagaimana
pengalamanmu. Sering dijahili
klien nggak” tanyaku
memancing.
“ Yahh, ada juga yang iseng. Tapi
kalau orangnya oke, boleh juga
sih. Sudah dapat komisi plus tip
plus enak gila”.
Ternyata beginilah salah satu sisi
dunia asuransi. Saya nggak
menghakimi, tetapi semua itu
kembali tergantung pada
orangnya.
“Aduh, kalau begitu saya nggak
bisa kasih tip. Kita pulang saja
yuk” kataku pura-pura serius.
“Huussh.. Kamu kok nganggap
saya begitu sih”.
Kami berbaring berjejer di
ranjang yang empuk. Vera
tengkurap di sebelahku dan
menatapku sejenak, lalu ia
mendekatkan mukanya ke
mukaku dan mencium bibirku.
Aku membalas dengan perlahan.
Vera terus menciumiku sambil
melepas blazernya. Kaki kirinya
membelit kakiku. Tangannya
merayap di atas kemejaku dan
mulai melepas kancing serta
menariknya sehingga dadaku
terbuka. Vera semakin
terangsang melihat dadaku yang
berbulu. Ia membelai-belai
dadaku dan sekali-sekali menarik
perlahan bulu dadaku.
“Simbarmu iku lho To, bikin aku..
Serr” bisiknya. Simbar adalah
sebutan bulu dada dalam bahasa
Jawa.
“ Mandi dulu yuk” kataku.
“Nggak usah, nanti aja. Bau
tubuhmu lebih merangsang
daripada bau sabun bahkan
parfum” katanya.
Bibirnya bergeser ke bawah dan
kini ia menciumi leherku. Aku
menggelinjang kegelian
sekaligus nikmat. Napas kami
mulai berat dan memburu.
Sambil terus menciumi dadaku,
Vera melepaskan blousenya.
Kulihat buah dadanya yang
masih kenyal dan padat
terbungkus bra warna merah
jambu. Seksi sekali. Tangannya
bergerak ke bawah, membuka
kepala ikat pinggangku, melepas
kancing celana dan menarik
ritsluitingku dan langsung
menariknya ke bawah. Aku
sedikit mengangkat pantatku
membantu gerakan tangannya
membuka celanaku. Kini
tangannya bergerak ke
belakangnya, tidak lama
kemudian roknya sudah merosot
dan hanya dengan gerakan
kakinya rok tersebut sudah
terlepas dan terlempar ke lantai.
Tangan kananku bergerak ke
punggungnya dan terdengar
suara “tikk” kancing pengait
branya sudah terlepas. Aku
melepas branya dengan sangat
perlahan sambil mengusap-usap
bahu dan lengannya. Vera
mengangkat tangannya dari
tubuhku dan akhirnya
terlepaslah bra merah jambu
yang dipakainya. Buah dadanya
berukuran sedang, taksiranku 34
saja, terlihat kenyal dan padat.
Urat-uratnya yang membiru di
bawah kulit terlihat sangat
menarik seperti alur sungai di
pegunungan. Putingnya yang
merah kecoklatan menantangku
untuk segera mengulumnya.
Payudara sebelah kanan kuisap
dan kukulum, sementara sebelah
kirinya kuremas dengan tangan
kananku, demikian berganti-
ganti. Tangan kiriku mengusap-
usap punggungnya dengan
lembut.
Vera mengerang dan merintih
ketika putingnya kugigit kecil
dan kujilat-jilat.
“Ououououhh.. Nghgghh, Anto
teruskan.. Ouuhh.. Anto”
Payudaranya kukulum habis
sampai ke pangkalnya. Vera
menghentakkan kepalanya dan
menjilati telingaku. Akupun
sudah merangsang hebat.
Senjataku sudah mengeras dan
kepalanya sudah nongol di balik
celana dalamku. Vera melepaskan
diri dari pelukanku dan kini ia
yang aktif menjilati dan
menciumi tubuhku bagian atas.
Dari leher bibirnya menyusuri
dadaku, menjilati bulu dadaku
dan..
“Oukhh, Vera.. Yachh.” aku
mengerang ketika mulutnya
menjilati puting kiriku. Kini
bibirnya pindah ke puting
kananku. Aku mendorong
tubuhnya, tak tahan dengan
rangsangan pada puting
kananku.
Vera semakin ke bawah, ke perut
dan terus ke bawah. Digigitnya
meriamku yang masih
terbungkus celana dalam.
Tangannya juga bergerak ke
bawah, menarik celanaku sampai
ke lutut dan akhirnya
menariknya ke bawah dengan
kakinya. Aku tinggal memakai
kemeja saja yang kancingnya
juga terbuka semua.

No comments:

Post a Comment

Sungguh Puaskah Istri Anda ?