Sebenarnya aku hidup berkecukupan, bahkan boleh dibilang cukup berlebihan untuk ukuran di desaku, apalagi aku merupakan anak tunggal. Keluargaku merupakan keluarga pedagang yang boleh dibilang sukses dan bakat dagang orang tuaku juga menurun kepadaku. Disela-sela waktu belajarku, selepas SMP, aku sudah dikasih modal yang cukup untuk berdagang hasil bumi seperti padi, ketela, jagung, kedelai bahkan tanggung jawab pengoperasioan mesin selep padi juga sudah diserahkan kepadaku, tentunya dengan dibantu orang kepercayaan orang tuaku. Sementara orang tuaku cukup berdagang beras dan hasil panen cengkeh yang tumbuh subur.
Orang kepercayaan orang tuaku bernama MAS LARTO, dia ikut orang tuaku semenjak selepas SD. Dari biaya sekolah, kuliah, berumah tangga dan pekerjaannya di kantor kecamatan, orang tuaku yang mengusahakan.
Mas Larto berusia 38 tahun, orangnya jujur dan bertanggung jawab, berputera 2 orang, Santi berusia 3 tahun dan Nanol berusia 9 bulan, sedang istrinya bernama Wulandari (Ndari) berusia 33 tahun.
Dengan biaya yang sangat besar, akhirnya Mas Larto memasuki ajang PILKADES. Kader-kadernya dengan semangat 1945 berikrar akan mendudukkan Mas Larto pada kursi terhormat sebagai Lurah Desa dan tentunya minta biaya operasional yang tidak kecil.
Segala daya dan upaya telah dikerahkan, pengeluaran sudah tak terhitung lagi. Manusia boleh berencana namun Tuhan jualah yang menentukan hasilnya. Mas Larto gagal menduduki jabatan KEPALA DESA. Mas Larto menduduku peringkat 2 dari 4 kontestan dengan selisih suara 19 dari pemenang PILKADES. Biarpun kalah, Mas Larto kalah terhormat.
4 bulan kemudian, Mas Larto sekeluarga datang bertamu ke rumah. Dari pembicaraan antara Mas Larto dan Ayah, kuketahui Mas Larto tersangkut hutang yang sangat besar, selain hutang kepada Ayah, rumah dan pekarangannya masuk ke tangan rentenir, belum hutang yang berupa uang, perhiasan, hewan sapi bahkan Mas Larto tersangkut penggelapan uang kantor pada waktu mengikuti PILKADES yang lalu dan apabila tidak segera dilunasi akan menyeretnya ke pengadilan. Atas kebijaksanaan Ayah, rumah dan pekarangan Mas Larto dijual dan sisa hutangnya menjadi tanggungan Ayah yang ternyata masih sangat besar.
Di Solo, aku menempati kamar utama sedangkan Mbak Ndari menempati kamar belakang beserta anak-anaknya. Sebenarnya ada rasa iba dihatiku melihat Mbak Ndari dan anak-anaknya harus pergi dari kehidupannya terdahulu. Namun apa hendak dikata apabila nasib berkata lain.
Sebagaimana lelaki lain, memasuki usiaku yang ke-16 aku juga mengalami masa-masa pubertas, masa-masa penuh dengan gejolak emosi dan birahi. Dan dalam ulangtahunku yang ke-17 aku mendapat suatu kado ulang tahun yang sangat-sangat tidak aku perkirakan bentuknya.
Mas Larto ceritakan bahwa ayah akan menghadiahkan sepeda motor sebagai penghargaan karena aku diterima di SMU Negeri, dan Mas Larto juga ingin memberikan hadiah yang sangat spesial kepadaku karena menurut Mas Larto, keluargaku dan aku sendiri sudah banyak membantunya, baik kala masih di kampung, setelah PILKADES dan penghidupan keluarganya di Solo baik untuk biaya hidup sehari-hari maupun kesehatan anak-anaknya, selain bantuan biaya dari ayah di desa juga dari sebagian tabunganku.
Dan hadiah yang sangat spesial tadi tak lain dan tak bukan adalah Mbak Ndari sendiri istri Mas Larto, ibu dari Santhi dan Nanol. Aku terhenyak, kaget dan tak tahu harus menjawab apa. Kulihat keseriusan pada wajah Mas Larto dan kepala Mbak Ndari yang tertunduk sambil memangku Nanol yang baru berusia 1 tahun lebih. Mas Larto tidak memaksaku untuk menerima hadiah spesial tersebut namun juga mohon jangan ditolak karena menurutnya hal tersebut sudah dibicarakannya dengan Mbak Ndari dan Mbak Ndari juga setuju karena memang hanya Mbak Ndarilah yang Mas Larto punya dan dinilai layak dan sepadan.
Mbak Ndari meskipun sudah berputera 2 dan usianya 2 kali usiaku namun tidak kalah dari teman-teman sekolahku. Mbak Ndari sebelum disunting Mas Larto merupakan bunga desa yang disunting orang kantoran kecamatan. Kuterima Mbak Ndari dengan perasaan berat karena bagaimanapun dia merupakan istri Mas Larto dan sudah lama kami bersama-sama, dengan syarat tidak mengurangi hak dan kewajiban antara Mas Larto dan Mbak Ndari sebagai suatu keluarga. Mas Larto dan Mbak Ndari menyetujui usulanku, bahkan Mas Larto sambil bercanda menyeletuk kalau dia hanya butuh Mbak Ndari antara sabtu sore hingga minggu sore sebelum kembali ke desa sementara aku pulang ke desa, selebihnya merupakan hakku sepenuhnya. Bahkan minggu sore ketika Mas Larto akan kembali ke desa, dengan atraktif dihadapan Mas Larto Mbak Ndari menciumku di pipi bahkan sekilas di bibir, ada rasa jengah juga di hati.
Lupa rasa lelah dan laparku dan lupa pula rasa jengah kepada Mas Larto di desa. Dengan bimbingan kelembutan Mbak Ndari dan nafsu yang menggelegak siang itu berakhirlah masa perjakaku di keindahan tubuh Mbak Ndari. Tepat diusiaku yang ke-17 kulalui bersama Mbak Ndari bak pengantin baru. Rasa lelah baru tampak ketika malam hari dalam pesta ulang tahun, dalam benak hanya ada wajah manis dan tubuh Mbak Ndari yang indah dan menantang, yang mengundang hasrat birahi untuk pelampiasan.
Betapa Mbak Ndari guru sex yang teramat ahli, dengan sedikit teori banyak praktek, dalam waktu relatif singkat kukenal kenikmatan sex yang sebenar-benarnya.
Banyak tehnik dan gaya kami pelajari baik dari buku-buku porno atau film BF dan malamnya selalu kami praktekan dengan sangat sempurna, baik gaya konvensional, 69, mandi kucing, oral dan bahkan pada ulang tahun Mbak Ndari yang ke-37 kami melakukan anal, kata Mbak Ndari hanya tinggal itu perawannya yang masih tersisa dan khusus untukku.
Tak terasa 8 tahun telah berlalu dalam kebersamaan, selama ini kesetiaan Mbak Ndari tiada terbanding. Kepada Mas Larto suaminya, atas nama kesetiaan apapun dilakukan. Kepadaku, atas nama pengabdian, kesetiaannya tiada terkirakan. Kala aku stress entah mendekati ulangan, semesteran, ujian SMU, seleksi UMPTN dan permasalahan yang cukup pelik, Mbak Ndari rela tidak haid (dengan tidak minum pil KB untuk haid) hanya untuk menampung hasrat birahiku, bahkan meminta ijin untuk minum pil jadwal haidpun atas sepengetahuanku.
Diusianya yang 41 tahun, gelora birahi Mbak Ndari tampak tak tertandingi oleh Mas Larto yang berusia 46 tahun, sayang aku harus kembali ke desa meneruskan usaha ayah. Tak tega rasanya melihat ayah diusia senja masih harus bekerja sendiri karena Mas Larto minta pindah ke Kartosuro. Sekarang berbalik, sabtu sore sampai minggu siang Mbak Ndari milikku, selebihnya milik Mas Larto, bagaimanapun diusiaku yang ke-25 ini, pesona Mbak Ndari belum tergantikan oleh gadis manapun, baik kecantikan, kesintalan tubuh, tutur bahasa, pelayanan ranjang dan kesetiaannya belum dapat kutemukan duanya.
Bahkan setelah aku berkeluarga, dikala senggang setelah setor barang ke solo tak lupa aku mampir ke rumah Mas Larto, sekedar melepas lelah, kangen dan birahi ke Mbak Ndari. Memang, Mbak Ndari tiada duanya.
Hanya satu yang tak pernah kudapat dari Mbak Ndari, seorang putera yang teramat sangat kuidam-idamkan. Kalau awal-awal karena aku masih sekolah, khawatir kalau-kalau nanti anaknya mirip aku, sekarang usia Mbak Ndari sudah relatif rawan. Tak apalah, toh sudah sangat banyak yang kudapat dari Mbak Ndari.
__________________
Tamat
No comments:
Post a Comment